Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kelud Menyapu Libya

16 Februari 2014   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelud dalam bahasa Jawa, artinya sapu. di Libya, Khadafi telah menciptakan kelud melalui kudeta yang menjanjikan pemerintahan yang mensejahterakan rakyat. Tetapi Khadafi pula yang menghapus janji itu dengan kelud baru, yaitu keinginan beraliansi dengan Barat lewat kebijakan ekonomi yang mempertahankan inefisiensi karena keterlibatan diri dan keluarganya. Kelud baru itu pun coba disibak dengan keludrevolusi rakyat yang akhirnya justru sekarang menghasilkan kelud baru yang tidak kalah mencekam: situasi yang tidak aman.. Setelah revolusi di Tunisia dan Mesir, serta demonstrasi di Bahrain, warga Libya angkat suara menentang penguasa totaliter, Moamar Khadafi.

Pada 17 Februari 2011, rakyat Libya melakukan aksi massa dengan menyebutnya sebagai “Hari Kemarahan.” Sebelumnya, pada 14 Februari 2011, sektar 4400 orang mendaftarkan diri lewat situs jejaring sosial Facebook dan meningkat menjadi 9600 orang usai bentrokan di Benghazi.

Bentrokan di Benghazi pada mulanya dipicu oleh penangkapan pengacara Fathi Terbil. Ia mewakili 1200 narapidana yang pada tahun 1996 ditembak aparat keamanan di penjara Abu Sieem. Waktu itu mereka protes atas situasi penjara yang tidak manusiawi. Bentrokan di Benghazi lalu memicu aksi yang lebih luas termasuk kerusuhan dan adu kekuatan senjata antara massa dengan pemerintah. Khadafi pun berubah menjadi sosok pemimpin yang menjadi musuh rakyat, kejadian pertama selama hamper 42 tahun kekuasaannya.

Banyak kelompok terror dan gerakan rakyat yang dulu pernah mendapatkan bantuan keuangan dari Libya. Saat benihr revolusi muncul, separuh cadangan minyak sudah habis. Selain Aljazair, tidak ada negara Arab lain yang begitu royal menghabiskan kekayaan alamnya seperti Khadafi. Harian Prancis La Press de la Manche menyebut Khadafi memerintah tanpa pembagian kekuasaan. Ia mengatakan Libya tidak perlu pemilihan umum, rakyat Libya tidak perlu pemerintah. Karena rakyat Libya sudah memerintah dirinya sendiri. Namun, faktanya mayoritas rakyat tidak setuju dengan optimism ini.

Walaupun kekuasaan semakin digoyang, Khadafi sempat menolak untuk mengundurkan diri. “Saya tidak akan meninggalkan negara ini, saya akan mati di sini sebagai martir,” ujar Khadafi dalam pidato di televisi pemerintah 23 Februari 2011. Dengan berang ia menyebut para pemrotes sebagai “tikus got dan serdadu bayaran” yang ingin menghancurkan Libya. Khadafi menggunakan tank, helicopter, dan pesawat tempur untuk menghadapi perlawanan di Libya, yang makin marak. Diplomat Libya di sejumlah negara telah menarik dukungan terhadap pemerintah.

Sampai bulan Maret 2011, situasi Libya sudah mirip dengan perang saudara. Pertempuran di berbagai kota antara serdadu pemerintah dan pemberontak telah menelan puluhan korban jiwa. Atas situasi itu, NATO pun tidak bisa bersikap. Harian Jerman Tagesspiegel memberikan tanggapan terhadap peranan NATO dan makna intervensi kemanusiaan. Bahkan harian Spanyol ABC menyebut institusi internasional termasuk PBB nyaris lumpuh dalam menghadapi krisis Libya. Dan ini mengulang kesalahan yang menimbulkan kejahatan perang di Kosovo. Cina dan Rusia jelas menolak bertindak karena akan dianggap membantu rakyat yang memberontak, situasi yang tidak menguntungkan kondisi domestic mereka. Dunia Arab juga tidak tegas mensikapi kekacauan di Libya. Meskipun demikian, pada 24 Maret 2011, Menteri Luar Negeri Turki Ahmed Davutoglu memastikan NATO akan mengambil alih komando militer di Libya dan separuh kekuatan itu berasal dari AS.

Sebenarnya aneh juga akhirnya Barat bergerak untuk melancarkan revolusi Libya. Pada tahun 2003, pendukung ekonomi liberal, Shukri Ghanem diangkat menjadi Perdana Menteri.Dia memimpin privatisasi dan liberasisasi ekonomi Libya. Sebanyak 360 BUMN diprivatisasi. Tahun 2003-2008, investasi asing naik dari 29 juta dinar menjadi 1500 juta dinar atau melesat 5700% dalam 5 tahun. Ini untuk menyokong situasi Libya supaya dapat menjadi anggota WTO. Pada 2007, perusahaan Inggris British Petroleum meneken kontrak proyek eksplorasi minyak sebesar 545 juta pounsterling. Kebijakan perbankan domestic juga diliberalisasi. Khadafi mengirimbanyak intelektual Libya studi ke Barat, terutama Eropa, untuk dididik dan kelak menjadi ekonom liberal Libya. Bahkan anaknya, Saif el Islam, adalah lulusan s3 London School of Economic, Inggris tahun 2008.

Michael Porter, pakar marketing AS, mejadi konsultan utama Libya. Selanjutnya, pemimpin perusahaan dan ahli ekonomi Barat antri untuk mendapatkan kontrak dagang dengan Khadafi. Bagaimanapun resep ekonomi liberal itu mudah ditebak: subsidi dihapus, harga sembako melejit, pengangguran meningkat akibat kesenjangan ekonomi. Khadafi menempatkan diri dan keluarganya untuk menjadi sekutu Barat dalam mengelola ekonomi itu. Inilah situasi yang memancing kemarahan rakyat yang akhirnya menimbulkan pergolakan. Untuk itu, amat mudah menebak mengapa Barat yang dulu merayu Khadafi menjadi pemukul utama supaya rezim segera tumbang. Mereka jelas tidak ingin kedok mereka dibuka Khadafi. Maka apapun, Khadafi harus disingkirkan. Mereka membonceng revolusi rakyat. Diharapkan usai target jangka pendek itu tercapai, situasi Libya tidak terkendali, dan mereka akan tetap melanggengkan kepentingannya untuk mengendalikan kekayaan Libya.

Pada 20 Oktober 2011, Khadafi tewas dieksekusi di Sirte, Libya Tengah, kampung halamannya sendiri. Seperti dianalisis Barat, pasca kematian Khadafi terjadi gejolak politik dan keamanan. Pengaruh milisi bersenjata semakin merajalela. Sisa-sisa loyalis Khadafi berhasil mengkonsolidasikan diri dan membangun kekuatan di selatan Libya.

Pemilu Juli 2012 ternyata menghasilkan pemerintahan dan Parlemen yang lemah. Bagaimanapun kekuatan sipil Libya ditekuk selama hamper 42 tahun lamanya, sehingga tidak ada pengalaman mengelola masa transisi berbasis kekuatan rakyat. Pemerintahan Perdana Menteri Ali Zeidan praktis hanya memiliki legitimasi di atas kertas.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun