MIRIS, teknologi yang harusnya berdampak positif, akhir2 ini dimanfaatkan dengan jeli oleh netizen untuk berlomba-lomba menyebarkan berita yang simpang siur tanpa adanya filter atau kevalidan data. Data dan informasi yang kurang, teori yang tidak jelas kredibilitasnya menjadi modal utama demi meraih eksistensi diri (Viral) dalam bersosial media.
 Ketika ditanyai sumber dan tingkat kredibiltasnya sepertinya mereka belum dapat menelaah mana sesuatu yang real dan mana yang realitas. Seperti yang dikatakan oleh Jean Budrillard seorang sosiolog dari perancis dalam bukunya "Simulacra and Simulation": "Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur. Masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra), didefinisikan sebagai image atau representation. Hiperrealitas membuat netizen akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan pada sesuatu yang nyata."Â
Lantas bagaimana mengatasi berita hoax? pada dasarnya manusia memiliki otak, akal dan pikiran. Sebagai manusia yang berpendidikan, tidak etis ketika ingin meraih popularitas dengan membagikan postingan kepada netizen yang menyulut perpecahan dan provokasi. Alangkah baik dan bijaknya dalam bersosial media ketika kita tidak berkomentar atau tidak membagikan berita-berita dan statement-statement yang kurang jelas kredibilitasnya guna mengurangi provokasi, sindiran bahkan perpecahan.
Saya tahu, semua orang memiliki IDEOLOGI yang berbeda-beda. Ketika menemukan postingan yang berbau provokasi dll, cobalah untuk mengurangi komentar provokasi dan mengkotak-kotakan manusia di dalam dunia INDONESIA. Tidak ada yang menyalahkan kedua pihak hanya saja miris ketika negara lain sudah memikirkan kemajuan bangsanya, kita disisi ini masih TERJAJAH oleh PEMIKIRAN "BAHWA YANG TIDAK SEJENIS ITU HARUS DILAWAN, HARUS DISUDUTKAN TANPA ADA RASA TOLERANSI SEDIKIT PUN."
Saya tahu betul memang itu sebuah kebebasan dalam bersosial media, namun layaknya netizen seperti kumpulan itik yang sedang digiring oleh pemilik untuk melintasi jalan raya tanpa memperhatikan kode etik (Rambu-rambu lalu lintas dijalanan).Â
Akankah kita tetap memilih untuk mengikuti barisan itik yang dipimpin oleh pemilik? atau bergerak sendiri dengan mandiri dan menghindari fanatisme, provokasi dll. Terakhir, bagaimana nasib itik-itik netizen yang sedang digiring oleh pemiliknya menuju jurang provokasi dan perpecahan internal. Akan menjadi apa bangsa kita jika masih berpikiran primitif yang berujung pada napsu demi sebuah "pengakuan" dalam sosial media.