Tahun 2025 menjadi tahun kelam bagi industri tekstil Indonesia. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal melanda sejumlah pabrik besar, mulai dari PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang memberhentikan lebih dari 10.000 karyawan hingga PT Yihong Novatex di Cirebon yang merumahkan 1.126 pekerja. Fenomena ini bukan sekadar gejolak siklus bisnis, melainkan indikasi krisis struktural yang memerlukan respons kebijakan komprehensif.
Penurunan Permintaan dan Daya Saing yang Terkikis
Penyebab utama PHK massal adalah kontraksi permintaan, baik domestik maupun global. Banyak pabrik tekstil dan garmen kehilangan pesanan dari buyer internasional akibat melemahnya daya saing. Produk tekstil Indonesia kalah bersaing dengan impor, baik yang legal maupun ilegal, terutama dari Vietnam, Bangladesh, dan China yang memiliki biaya produksi lebih rendah.
Selain itu, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tarif PPN telah menambah beban biaya produksi. Industri tekstil, yang bersifat padat karya dan marginnya tipis, sangat sensitif terhadap kenaikan biaya tenaga kerja dan pajak. Ketika biaya produksi naik tetapi harga jual tidak bisa ditingkatkan karena tekanan persaingan, perusahaan terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja sebagai langkah survival.
Dampak Ekonomi Makro: Pengangguran dan Pertumbuhan
PHK massal di sektor tekstil berpotensi memicu efek domino pada perekonomian. Industri ini menyerap sekitar 3,7 juta tenaga kerja langsung dan jutaan lagi di sektor pendukung. Jika gelombang PHK terus meluas, angka pengangguran akan meningkat, mengurangi daya beli masyarakat, dan akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, industri tekstil merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar dari ekspor non-migas. Jika produksi terus merosot, neraca perdagangan Indonesia bisa terancam defisit, memperlemah nilai tukar rupiah.
Solusi Kebijakan: Proteksi Selektif dan Efisiensi Produksi
Pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk mencegah krisis lebih dalam:
Penguatan proteksi terhadap produk impor ilegal harus menjadi prioritas pemerintah.