Jepang sering digambarkan sebagai negara yang harmonis, maju, dan penuh dengan inovasi. Dari teknologi canggih, budaya pop yang mendunia, hingga kota-kota yang bersih dan efisien. Namun, di balik citra sempurna itu, tersembunyi dunia lain, sebuah dunia yang jarang diungkap di brosur pariwisata atau anime.
Ini adalah Jepang yang tidak banyak diketahui: negeri di balik gemerlap Tokyo dan keindahan Kyoto, di mana kejahatan terorganisir seperti Yakuza beroperasi hampir secara terbuka, industri AV mengeksploitasi ribuan wanita dalam sistem yang manipulatif, dan tekanan sosial yang ekstrem menghancurkan kesehatan mental warganya. Mulai dari hikikomori yang mengurung diri, karyawan yang mati karena kerja berlebihan (karshi), hingga lansia yang meninggal dalam kesepian (kodokushi), membuktikan bahwa di balik kemajuan teknologinya, Jepang menyimpan masalah sosial yang dalam dan sistemik."
1. Yakuza: Mafia yang (Semi) Legal di Jepang
Akar Sejarah dan Struktur
Yakuza bukan sekadar mafia biasa. Â Mereka adalah organisasi kriminal yang beroperasi dengan struktur hierarki ketat, hampir seperti samurai modern. Berawal dari kelompok penjudi dan pedagang gelap di era Edo, Yakuza berkembang menjadi sindikat yang menguasai bisnis ilegal di Jepang.
Yakuza di Jepang terdiri dari beberapa geng besar seperti Yamaguchi-gumi (kelompok terbesar), Sumiyoshi-kai, dan Inagawa-kai, yang beroperasi dengan kode etik ketat termasuk jingi (kesetiaan mutlak), yubitsume (potong jari sebagai bentuk penebusan kesalahan), serta sistem hubungan oyabun-kobun (atasan-bawahan yang hierarkis), sementara bisnis haram mereka tumbuh subur mulai dari pemerasan, prostitusi, hingga pencucian uang melalui bisnis-bisnis legal.
Meskipun aktivitas mereka telah berkurang sejak diberlakukannya Undang-Undang Anti-Yakuza pada 2011. Mereka tetap terlibat dalam berbagai bisnis haram, termasuk pemerasan (skaiya) dengan cara mengancam akan membocorkan skandal perusahaan, prostitusi, dan human trafficking dengan memasok wanita ke industri hiburan dewasa, serta pencucian uang melalui bisnis-bisnis legal seperti restoran dan konstruksi.
Yakuza sering disebut sebagai "shadow government" karena pengaruhnya yang dalam, di mana beberapa politisi dan pengusaha diam-diam bekerja sama dengan mereka untuk urusan kotor, termasuk menguasai proyek-proyek konstruksi besar dan menyediakan pendanaan gelap untuk partai politik, terutama pada era 1980-1990-an ketika hubungan antara dunia bawah tanah dan kekuasaan begitu erat.
Fakta mencengangkan, di masa kejayaannya (1990-an), Yakuza memiliki lebih dari 80.000 anggota, dan beberapa bos Yakuza bahkan menerbitkan otobiografi serta dengan bebas diwawancarai media, menunjukkan betapa terbukanya keberadaan mereka dalam masyarakat Jepang saat itu.
2. Industri AV Jepang: Eksploitasi di Balik Layar