Ketika dunia membicarakan Palestina, seringkali narasi yang muncul adalah konflik teritorial, perebutan wilayah, atau persaingan politik. Padahal, jika kita menengok lebih dalam, yang terjadi di tanah suci itu bukanlah sekadar sengketa geopolitik---melainkan sebuah tragedi kemanusiaan yang berlarut-larut, di mana nyawa, hak, dan martabat manusia diinjak-injak.
Setiap hari, rakyat Palestina hidup dalam ketakutan. Bom yang menghancurkan rumah, blokade yang memutus akses makanan dan obat-obatan, serta pengusiran paksa dari tanah leluhur mereka bukanlah sekadar "konflik"---itu adalah penderitaan nyata yang dialami oleh manusia tak bersalah. Anak-anak yang seharusnya sedang belajar dan bermain, justru menjadi korban kekerasan yang tak mereka pahami. Keluarga-keluarga tercerai-berai, rumah-rumah hancur, dan masa depan suram tanpa kepastian.
Ini bukan tentang dua kubu yang berseteru dengan kekuatan seimbang. Ini tentang ketimpangan kekuasaan, di mana satu pihak memiliki senjata canggih dan dukungan global, sementara pihak lain hanya memiliki ketahanan dan doa. Palestina adalah ujian bagi hati nurani dunia: seberapa jauh kita peduli pada keadilan? Seberapa dalam kita memaknai kemanusiaan?
Dulu, ketika Bung Karno berteriak lantang meminta pengakuan kemerdekaan Indonesia di panggung dunia, hanya segelintir negara yang mendukung. Negeri-negeri besar memalingkan muka, seolah tak peduli pada penderitaan rakyat yang dijajah berabad-abad. Indonesia berjuang sendiri, dengan darah dan air mata, sementara dunia sebagian besar memilih diam.
Hari ini, sejarah yang mirip terulang di Palestina. Rakyatnya berteriak, tetapi suara mereka kerap tenggelam dalam politik internasional yang tebal dengan kepentingan. Mereka menahan peluru dengan batu, menghadapi mesin perang dengan keteguhan hati, sementara negara-negara kuat sibuk berdebat di balik meja diplomasi. Seperti dulu, hanya sedikit yang berani berdiri tegas melawan ketidakadilan.
Kita, sebagai bangsa yang pernah merasakan pedihnya dijajah, seharusnya paham betul rasanya diperlakukan tak adil. Kita pernah merintih dalam kesakitan kolonialisme, dan kita tahu bagaimana rasanya ketika dunia membiarkan saja penderitaan itu terjadi. Jika dulu kita marah karena dunia diam melihat penjajahan di Indonesia, mengapa hari ini kita bisa diam melihat penindasan di Palestina?
Kita pernah mengalami bagaimana penjajah Belanda membagi-bagi kita dengan politik pecah belah (divide et impera): mengkotak-kotakkan pribumi berdasarkan suku dan agama agar mudah dikontrol.
Hari ini, kita diuji lagi: bisakah kita melihat penderitaan Gaza bukan sebagai "masalah orang Islam", tetapi sebagai masalah bersama umat manusia? Bisakah kita bersuara untuk warga Gaza---tanpa perlu tahu apa agama mereka---karena yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, tapi keadilan?
Palestina bukanlah sekadar konflik Timur Tengah---ia adalah cermin kegagalan moral dunia. Jika kita diam sekarang, kita mengkhianati sejarah sendiri. Karena bagaimanapun, perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan.
Kita yang pernah dijajah, seharusnya paling keras menentang penjajahan. Jika kita menyederhanakan ini hanya sebagai "perebutan tanah", kita mengabaikan tangisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya, air mata ayah yang tak bisa melindungi keluarganya, dan keputusasaan generasi yang tumbuh dalam trauma. Palestina mengingatkan kita bahwa kemanusiaan adalah tanggung jawab bersama. Dan selama ketidakadilan masih terjadi di sana, suara kita harusnya terus berdiri di pihak yang tertindas.