Dulu, setiap sore, ayahku selalu menyuruh kami anak-anaknya untuk membeli kue dari seorang nenek tua yang lewat di depan rumah. Rasanya? Jujur, tidak enak. Terlalu manis, kadang keras, atau terlalu berminyak. Tapi ayah tak pernah peduli.
"Beli lagi," katanya setiap hari, meski kami mengeluh.
Nenek itu berasal dari kampung yang sama dengan ayah. Kami sendiri tidak terlalu mengenalnya, tapi bagi ayah, dia adalah "orang kita" sesama perantau yang harus dibantu.
Pernah suatu sore, saat ayah tertidur lelap, kami melihat nenek itu lewat dengan gerobaknya. Kami saling pandang, lalu memutuskan untuk pura-pura tidak melihat.
"Ah, sekali ini tidak apa-apa," pikirku.
Tapi ayah tahu. Entah bagaimana, dia seperti punya indra keenam untuk hal-hal seperti ini. Begitu bangun, wajahnya langsung berubah.
"Kalian tidak beli kue tadi?" suaranya rendah, tapi berat seperti batu.
Kami diam.
Ayah menarik napas panjang, lalu duduk di depan kami. "Kita ini orang rantau. Di Jakarta, siapa yang punya saudara? Kalau bukan kita yang bantu sesama orang kampung, siapa lagi?"
Aku masih ingat betul matanya yang berkaca-kaca. "Membeli dagangannya mungkin tidak mengubah hidupnya, tapi setidaknya dia tahu ada yang masih peduli. Di kota besar ini, solidaritas itu langka. Jangan sampai kita jadi orang yang melupakannya."