Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Belajar yang Dulu Saya Terapkan

21 Oktober 2015   15:02 Diperbarui: 21 Oktober 2015   15:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini, pas bangun jam 4 pagi, seperti biasa saya minum segelas air putih. Lalu sambil menunggu azan subuh, saya mengecek pesan masuk di hp. Ada satu pesan dari anak lelaki saya:"Pa, bangunin pagi ya". 

Mungkin anda heran, tinggal di rumah yang sama kok saling berkirim pesan singkat. Begini, saya punya kebiasaan tidur sekitar jam 10 - 11 malam.  Sementara, anak saya itu, yang lagi ujian tengah semester di kampusnya, belajar bersama di rumah temannya. Ia tidak bisa belajar sendiri di rumah. Akhirnya ia saya kasih kunci untuk masuk rumah, karena pulangnya biasanya sekitar jam 12 malam, bahkan bisa lewat dari itu.

Otomatis saya tidak bertemu muka sama si anak di malam hari, karena saat magrib saya sampai di rumah sehabis seharian di kantor, ia sudah ke rumah temannya. Paling-paling saya hanya berkirim pesan singkat sebelum saya tidur, agar si anak jangan pulang larut malam. Biasanya ia patuh menjawab:"iya, pa", tapi tetap saja pulang larut malam.

Sebetulnya saya tidak sampai hati membangunkan anak saya tersebut di jam 05.30 pagi menjelang saya berangkat ke kantor. Saya tahu pasti ia baru tidur sekitar 4 jam, belum cukup untuk memulihkan staminanya. Tapi mau tak mau saya harus lakukan, meski tidak ada pesan singkatnya sekali pun. Pertama, agar ia segera shalat subuh (jam sebegitu sebetulnya sudah di ujung waktu). Kedua, agar ia siap-siap ke kampusnya.

Kalau saya bertemu langsung dengan sang anak di hari Sabtu atau Minggu, saya sudah sering memberi pandangan tentang cara belajar yang menurut saya baik. Tapi, si anak setia dengan caranya sendiri yang jauh berbeda dengan cara yang saya terapkan dulu.  Akhirnya saya bebaskan saja, sepanjang nilai mata kuliahnya baik.

Dulu, kuliah di dekade 1980-an, memang masih belum ada in-focus buat menayangkan slide. Dosen masih menulis pakai kapur, atau pakai spidol di papan tulis. Nah, saya paling menganggap penting kehadiran di setiap perkuliahan. Menyimak dan mencatat apa yang terucap dari mulut dosen, menjadi kunci kesuksesan saya dalam meraih nilai bagus. Karena soal ujian, biasanya berupa essay, kalau dibumbui dengan contoh-contoh yang pernah diucapkan dosen, meski tidak ada di buku teks, akan lebih mengena dengan selera dosen.

Sebelum minggu pelaksanaan ujian, saat itu ada minggu tenang, untuk memberi waktu bagi mahasiswa untuk belajar. Minggu tenang itu saya manfaatkan untuk membaca buku teks. Saya sering tidak mampu membeli buku teks yang mahal, makanya saya perlu belajar bersama teman yang punya buku, atau di perpustakaan. Hal-hal penting saya catat atau di-foto kopi.

Tapi pas besok mau ujian, saya lebih suka belajar sendiri di kamar kos saya, dan hanya sampai jam 10 atau 11 malam. Di kesempatan terakhir untuk belajar tersebut, saya usahakan untuk menguasai semua isi buku catatan perkuliahan. Ini tidak begitu sulit, karena membaca catatan sendiri, membuat saya ingat lagi saat dosen ngomong di depan kelas. Kemudia saya tidur dengan nyenyak. Lalu kalau setelah shalat subuh, saya permantap lagi dengan cara mengingat-ngingat struktur materi perkuliahan. Sudah terbayang di benak saya, bab pertama dari materi perkuliahan menyangkut apa saja, bab dua, tiga, dan seterusnya.

Dengan tidur cukup, rasanya fisik saya fit untuk ikut ujian. Di ruang ujian, saya tidak lagi mencari lokasi yang strategis (saat itu masih boleh memilih bangku). Duduk di manapun oke. Pas pengawas ujian membagikan kertas soal, saya santai saja. Tidak perlu melihat teman yang sibuk dengan kertas kecil berisi contekan, atau hal-hal sejenis. Dan biasanya memang, soal ujian tidak jauh dari seputar apa yang sudah ada di buku catatan saya.

Makanya buku catatan, bagi saya lebih berharga dari buku teks. Buku catatan itu, pasti berbeda-beda setiap orang, karena hal-hal yang dianggap penting oleh masing-masing mahasiswa bisa berbeda-beda. Kalau saya karena sesuatu hal terpaksa tidak ikut kuliah, itulah hal yang paling menyedihkan bagi saya, karena saya tidak begitu yakin teman lain punya catatan sesuai versi saya kalau saya hadir langsung.

Kembali ke anak saya, mungkin eranya memang sudah berbeda, saya gak begitu tahu. Karena sekarang dosen memberi kuliah sudah pakai teknologi canggih, tinggal tayangkan slide. Lalu mahasiswa ramai-ramai meng-copy materi perkuliahan ke flashdisk-nya. Tapi menurut saya, tetap perlu mencatat secara manual. Bahwa mencatatnya di buku tulis atau di laptop, i-pad, atau hp, itu tidak soal. Sering ada ucapan yang keluar dari mulut dosen tapi tidak tercantum di slide, sebagai elaborasi dari poin-poin yang ada di slide. Justru kalau saat ujian, jawaban mahasiswa persis sama dengan poin-poin di slide tanpa dielaborasi, nilainya tidak setinggi mahasiswa yang mampu mengelaborasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun