Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Air Mata Fifty-fifty Seorang Lelaki

18 Agustus 2016   05:44 Diperbarui: 18 Agustus 2016   07:13 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terlalu manis untuk dilupakan, kenangan yang indah bersamamu....., demikian antara lain lirik lagu Slank yang dibawakan anak-anak. Yang saya maksud dengan anak-anak bukanlah mereka yang usianya masih kecil atau remaja, namun puluhan orang yang posisinya di kantor adalah bawahan saya. Tapi perlu saya sampaikan bahwa terminologi atasan-bawahan sangat tidak saya sukai, karena saya cenderung menganggap mereka sebagai teman kerja.

Di pertengahan lagu, dua wanita, Tria dan Rini maju beberapa langkah dan membaca puisi. Salah satu baitnya kira-kira berbunyi seperti ini: Memang, waktu bukanlah milik kita, tak seorangpun yang mampu menahan masanya. Keinginan kami tak seiring dengan batas kebersamaan kita yang mesti usai. Pertemuan dan perpisahan kan datang silih berganti menjadi kepingan hidup tak terlupakan, hingga mengendap menjadi sebuah kenangan. Kenangan akan sebuah kebersamaan yang penuh keakraban. Kini perpisahan menyapa walau jiwa masih ingin terus bersama, namun apalah daya, jalan hiduplah yang memaksa (belakangan saya tahu puisi tersebut karya Faiz Izuddin, 2010).

Sambil bernyanyi dan berpuisi, satu persatu, anak-anak cewek melangkah ke arah saya dan masing-masing menyerahkan seikat bunga. Sungguh suatu kejutan. Setiap menerima bunga saya ucapkan terima kasih dan mengucapkan nama si pemberi. Baru menerima bunga ketiga atau keempat (dari sekitar dua puluhan bunga)....lalu mata saya berkaca-kaca, namun dengan terbata-bata masih mampu menyebut nama si pemberi sampai bunga terakhir saya terima.

Ya akhirnya pertahanan saya jebol juga. Untung saja itu terjadi di agenda acara terakhir. Kalau saja saya menangis saat memberikan kata sambutan atau kesan dan pesan, tentu tidak nyaman buat saya, karena hal yang mau saya ungkapkan tidak tersampaikan selain pertanda kesedihan semata. 

Saya memang menerapkan trik tertentu agar tidak terisak meneteskan air mata di momen acara perpisahan. Caranya adalah tidak mau larut terbawa perasaan (baper kata anak sekarang). Saya berkonsentrasi ke hal lain seperti membayangkan makanan yang enak atau mendengar lagu merdu yang baru saja dinikmati, dan melupakan bahwa tema acaranya adalah perpisahan, karena saya memasuki masa pensiun. Bahkan saat memberi kata sambutan pun saya coba sesantai mungkin dengan pikiran melayang pada kenangan indah masa lalu, bukan keharuan karena mau berpisah.

Saya memang sedikit trauma karena pernah tiga kali tidak tuntas menyampaikan kata sambutan di acara sejenis. Pertama, awal tahun 1996. Saat itu saya dipromosikan dari posisi wakil kepala bagian dari sebuah divisi di kantor pusat perusahaan tempat saya bekerja menjadi kepala bagian di Kantor Wilayah Denpasar.

Berlanjut saat perpisahan dari Bali untuk ikut pendidikan S2 di IPB atas biaya dinas pada akhir tahun 1997. Kemudian di tahun 2003 saat saya sudah di kantor pusat lagi, saat acara pelepasan karena saya dan istri mau naik haji. Setelah itu baru trik "anti air mata" di atas relatif berhasil saya terapkan meski tetap deg-degan.

Sebagai lelaki terkadang saya malu kok gampang menangis. Bahkan lebih gampang dibanding istri saya yang sangat irit kalau menangis. Tangisan saya bisa saja muncul hanya gara-gara menonton film atau tayangan di televisi yang beraroma kesedihan.

Kadang-kadang kalau melihat orang dewasa menangis, saya tanpa sadar juga ikut menangis, meski belum tahu pasti perihal apa penyebab orang tersebut menangis. Jangan tanya kalau saya menghadapi situasi saat orang tercinta seperti kedua orang tua saya, salah seorang kakak dan juga salah seorang adik saya, di tahun yang berbeda-beda, mengalami sakit keras dan akhirnya dipanggil Tuhan. Sudah pasti air mata saya meleleh tak tertahan.

Meski begitu, pernah pula tangisan saya mengucur karena kebahagiaan, seperti saat saya lulus ujian sidang skripsi S1 di Padang dalam satu kali kesempatan saja. Padahal saya mengetahui jadwalnya sangat mendadak, dua hari sebelumnya. Saat itu karena pengujinya adalah "dosen terbang" dari UI, jadwalnya sering tidak tentu. Akibatnya teman-teman saya kebanyakan baru lulus setelah ujian sidang ulangan, bahkan tidak sedikit yang mengulang dua sampai tiga kali.

Lelaki dan air mata, seperti kurang menyatu. Yang lazim adalah air mata wanita. Saya tidak tahu, apakah saya merupakan pengecualian karena gampang mengeluarkan air mata. Tapi saya mampu "menikmati" air mata itu, karena selalu lega, anggap saja semacam klimaks, bila air mata telah saya tumpahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun