Heboh-heboh kasus Pertamax serasa Pertalite telah mulai surut dalam pemberitaan media massa. Tapi, selayaknya publik tetap mengawal agar kasus korupsi di tubuh anak perusahaan Pertamina itu diusut tuntas.
Nah, di tengah bulan suci Ramadan tahun ini dan menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri, muncul kasus baru yang tak kalah menghebohkan, yang disebut sebagai kasus Minyakita.
Kalau kasus Pertamax membuat resah pelanggannya yang rata-rata kelas menengah, maka kasus Minyakita justru telah meresahkan lebih banyak orang, karena konsumennya mulai dari kelas menengah hingga kelas bawah.
Ya, Minyakita adalah minyak goreng berharga murah, tapi secara resmi oleh pemerintah tidak disebut sebagai minyak bersubsidi.Â
Minyak tersebut berasal dari kewajiban produsen untuk memenuhi kewajiban menjual ke pasar domestik (domestic market obligation/DMO) dengan harga yang sudah ditetapkan.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menjelaskan bahwa Minyakita merupakan produk hasil skema DMO yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan eksportir minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat.
Peraturan di atas menetapkan mekanisme distribusi Minyak Goreng Rakyat (MGR yang memakai merek Minyakita) melalui skema DMO, di mana produsen minyak goreng wajib mendistribusikan MGR kepada distributor lini pertama yang ditunjuk.
Distributor lini pertama berikutnya akan mendistribusikan MGR kepada distributor lini kedua atau pengecer, yang selanjutnya menjualnya kepada konsumen akhir.
Jadi, konsumen yang dulunya terpekik karena mahalnya harga minyak goreng bermerek, tapi tidak mau membeli minyak goreng curah, sekarang bisa membeli Minyakita.
Keberadaan Minyakita sekaligus menjadi solusi setelah heboh-heboh kasus minyak goreng langka beberapa tahun lalu.