Belum lama ini, saya dan beberapa teman mendatangi rumah seorang korban musibah banjir di Bekasi, Jawa Barat. Kebetulan, korban ini pernah cukup lama menjadi rekan kerja saya dan teman-teman yang datang berombongan.
Ketika itu merupakan hari ke 5 setelah banjir merendam rumahnya setinggi sekitar 1,70 meter. Memang kondisi saat saya datang sudah relatif normal, dalam arti tidak ada genangan air lagi.
Tapi, lumpur bekas banjir masih sedikit menghambat perjalanan kami ke komplek perumahan yang kami tuju. Di banyak rumah yang kami lewati terlihat aktivitas warga menjemur berbagai barang.
Untungnya teman saya yang jadi korban banjir punya rumah 2 lantai, sehingga sebagian besar barang yang mereka miliki bisa diselamatkan dengan menggotongnya ke lantai atas.
Teman saya di rumah tersebut hanya tinggal berdua saja, yakni pasangan suami istri yang berusia sudah lebih dari 50 tahun.
Dengan tenaga yang terbatas mereka berjibaku bolak balik membawa barang dari lantai bawah ke atas. Ketika air semakin meninggi, tentu tidak gampang membawa barang.
Apalagi, ketika mereka terengah-engah di lantai atas dan air sudah di ketinggian sebatas dada, tiba-tiba teman saya ingat adanya dokumen penting yang ditaruh di atas lemari di kamarnya di lantai bawah.
Mau tak mau, mereka pun ke bawah lagi menembus air dengan susah payah. Betul-betul melelahkan di tengah malam mendekati saat makan sahur.
Setelah itu mereka memasrahkan atau mengikhlaskan barang-barang lain yang sudah "berenang". Seperti, kulkas mereka yang sudah dalam posisi tertelantang.Â
Dalam kondisi seperti itu, teman saya dan istrinya masih sempat melakukan renungan kecil-kecilan. Diskusi mereka berdua melahirkan kesepakatan untuk mengubah perilaku mereka yang konsumtif.
Pemikiran itu muncul begitu melihat banyaknya barang kecil yang terapung berserakan, yang sebagian besar mereka lupa kalau mereka pernah membeli barang itu.