Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Hebat Tak Suka Meresepkan Banyak Obat

19 Mei 2022   06:21 Diperbarui: 19 Mei 2022   06:36 3276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbagai jenis obat | dok. itb.ac.id

Sudah beberapa tahun terakhir ini saya setiap 6 bulan sekali melakukan kontrol kesehatan dengan seorang dokter spesialis penyakit dalam dengan tambahan gelar KGEH.

KGEH itu merupakan keahlian lanjutan yang merupakan sub-spesialis, yakni singkatan dari Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi. Bidangnya mencakup pengobatan sistem pencernaan, termasuk lambung, usus, hati, empedu, dan pankreas.

Saya sengaja tidak menuliskan nama sang dokter agar tidak terkesan mempromosikannya. Tapi, bagi saya, beliau dokter hebat. Dan, memang, beliau sering menjadi narasumber wawancara masalah kesehatan di beberapa stasiun televisi.

Kebetulan, pada Sabtu (14/5/2022) lalu, saya konsultasi lagi ke beliau. Saat diukur tekanan darah oleh suster, saya kaget karena angkanya 150/75.

Selama ini tekanan darah saya stabil di kisaran 120/80 atau 130/90. Sewaktu saya minta kepada dokter untuk meresepkan obat penurun tekanan darah, beliau bilang tidak perlu.

"Prinsip saya, kalau bisa tanpa obat, lebih baik tanpa obat," begitu kata sang dokter. Bagaimanapun obat itu berpotensi menjadi "racun" bila kurang tepat penggunaannya.

Jadi, oleh dokter tersebut saya hanya diminta mengurangi makanan yang asin dan juga mengurangi makan daging serta makanan yang bersantan atau digoreng.

Saya jadi teringat dokter lain yang menurut saya terlalu gampang meresepkan obat dalam jenis yang banyak. Saya dulu menjadi langganan dokter lain tersebut. Setiap konsultasi, diberi resep paling tidak 5 jenis obat.

Sebagian obat berupa vitamin yang menurut saya lebih baik didapatkan dari bahan alami seperti sayuran dan buah-buahan, atau dengan berjemur di bawah sinar matahari pagi.

Tentang obat rumahan, saya biasa menyetok obat merek tertentu yang mengandung paracetamol, sekadar berjaga-jaga jika merasa demam.

Saya paling rajin memperhatian kondisi obat yang saya simpan di lemari khusus. Yang saya lihat adalah batas waktu expired-nya, serta apakah ada perubahan kondisi fisik kemasannya atau obatnya.

Obat yang sudah kedaluwarsa atau yang secara fisik terlihat berubah, akan saya buang ke tempat sampah. Saya akui, cara membuang obat yang saya lakukan bukan cara yang tepat.

Saya pernah membaca, cara membuang obat yang baik adalah dengan mengeluarkan obat dari kemasannya, dan menghancurkannya sehingga obat menjadi tidak utuh.

Kemudian, obat yang tidak utuh itu dicampur dengan ampas kopi, tanah atau bahan lainnya agar tidak dikonsumsi anak-anak, hewan peliharaan, atau dipungut pemulung.

Selanjutnya, masukkan ke wadah yang bisa ditutup seperti kaleng atau botol agar tidak tumpah, baru dibuang ke tong sampah.

Untuk obat berupa cairan, caranya mirip dengan di atas, tapi kalau ada endapan atau obat sudah mengental, tambahkan sedikit air dan dikocok hingga endapan hilang.

Berikutnya, tuang ke dalam wadah tertutup dan campur dengan tanah atau bahan lainnya, seperti yang sudah ditulis di atas.

Intinya, obat itu penting, tapi pemakaiannya harus tepat sesuai petunjuk dokter atau sesuai yang tercantum pada kemasannya. Demikian pula cara penyimpanan dan pembuangannya, harus sesuai ketentuan.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun