Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warung Rumahan, Wajib Pisahkan Kas Warung dan Kas Pribadi

8 Januari 2021   05:30 Diperbarui: 8 Januari 2021   08:08 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geliat perekonomian toko kelontong di kota Pekalongan. (Dok. Shutterstock/Maharani Afifah)

Dulu, ketika saya masih sekolah di dekade 1970-an, saya cukup mengenal aktivitas warung rumahan. Soalnya, setelah pulang sekolah, saya bertugas menjaga warung yang berada di bagian depan rumah orangtua saya.

Barang yang dijual adalah aneka makanan kecil, kebanyakan berupa cemilan tradisional karena biskuit masih belum begitu banyak beredar. Selain itu, juga ada rokok, minyak tanah, telur ayam, kayu bakar, sabun cuci, sabun mandi, dan sebagainya.

Warung tersebut merupakan bisnis ibu saya, sedangkan ayah saya sendiri berjualan sepatu dan sandal di sebuah kios di pasar kota Payakumbuh, Sumbar. Tapi, jangan membayangkan bisnis ibu saya tersebut sebagai hal yang menguntungkan. Kenyataannya, sering barang habis tapi uangnya tidak ada, sehingga ayah terpaksa memberi modal lagi untuk belanja barang.

Hanya, kalau disebut merugi, juga kurang tepat. Lalu uang hasil penjualan tersebut lari ke mana? Ya, sering diambil ibu saya untuk berbagai keperluan kecil. Saya sendiri sambil menjaga warung, sering makan kerupuk yang seharusnya untuk dijual.

Satu hal lagi, yang juga menyebabkan uang hasil penjualan tidak terlihat, karena para tetangga yang membeli, minta agar dicatat dulu sebagai utang. Kenyataannya, sebagian utang bersifat abadi, dalam arti setelah dibayar, mereka ngutang lagi, begitu seterusnya.

Takut merusak hubungan antar tetangga, bahkan ada yang terhitung kerabat sendiri, menyebabkan ibu saya tidak berani menagih utang dengan cara keras. Akhirnya ya diikhlaskan begitu saja.

Baik, dalam tulisan kali ini, saya tidak membahas soal budaya utang piutang antar tetangga yang memang susah diatasi, tapi lebih membahas pentingnya pemisahan kas pribadi dengan kas warung, bagi siapapun yang punya bisnis warung rumahan.

Dengan demikian, akan terlihat seperti apa kemajuan bisnis tersebut dan tidak perlu mengingat-ingat kemana larinya uang hasil penjualan. Tapi, yang namanya kebutuhan bagi pemilik untuk mengambil uang, jelas tak bisa ditawar-tawar.

Untuk itu, pemilik harus berani menetapkan berapa "gaji"-nya dari pengelolaan warung tersebut. Agar tidak mengganggu arus kas warung, sebaiknya tetapkan gaji mingguan, contohnya Rp 500.000 per minggu.

Maka, jika pemilik perlu uang, harus diambil dari kas pribadi. Kalau kas pribadi habis, padahal belum saatnya gajian, "ngutang" dulu ke kas warung dan nantinya harus dibayar. 

Bahkan, bila pemilik mengambil barang, katakanlah mengambil sebungkus mi instan, ya harus bayar dari kas pribadi. Kembali ke cerita masa kecil saya, seharusnya saya tidak bisa seenaknya makan kerupuk sambil menjaga warung.

Mungkin timbul pertanyaan, kenapa begitu pelitnya kepada diri sendiri, sehingga harus membeli di warung sendiri? Buat apa punya warung kalau tidak bisa nebeng gratis menikmati isi warung?

dok. hipwee.com
dok. hipwee.com
Ya, betul juga sih. Tapi, kalau ingin punya warung yang maju, yang bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan, harus punya disiplin dalam mengelolanya. Salah satu bentuk kedisiplinan itu tercermin pada kerapian pencatatan dengan pemisahan kas warung dan kas pribadi.

Maksud saya, biar jelas berapa besar keuntungan pengelolan warung selama periode tertentu, katakanlah satu bulan. Bahwa keuntungan itu akan kembali ke pemilik, itu benar, makanya pemilik berhak dapat gaji. 

Adapun jika setelah menerima gaji, masih ada kelebihan keuntungan, sebaiknya dipakai untuk memperbanyak stok barang yang terlihat laris atau sering dibutuhkan pelanggan. Tentu boleh juga sebagian menjadi bonus bagi pemilik.

Tanpa pemisahan kas, akan sulit mendeteksi kemajuan usaha. Padahal, tujuan utama membuka warung rumahan adalah buat mencari keuntungan yang halal. Kecuali bila warung diniatkan untuk  keperluan sosial, itu lain cerita, namun pencatatan yang rapi, tetap diperlukan.

Pedagang yang malas mencatat, sering menggampangkan perhitungan. Sekiranya dilaci lagi banyak uang, langsung dikira untung. Padahal mungkin ada barang yang harus segera dibeli, utang yang harus dibayar, kondisi warung dan lemari kaca yang harus diperbaiki, atau biaya listrik yang harus dibayar.

Kuncinya terletak pada kedisiplinan. Apabila sudah terbiasa mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran, termasuk memisahkan kas warung dan kas pribadi, akan mudah mengetahui kemajuan usaha. Kalaupun belum menuai keuntungan, gampang melacak di mana sumber masalahnya, sehingga bisa dicarikan solusi terbaik.

Warung rumahan yang banyak tersebar di mana saja, berpotensi menciptakan keluarga tangguh, asal dikelola secara benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun