Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sunk Cost, Biaya yang Tenggelam atau Anggap Uang Sekolah?

1 Maret 2021   00:01 Diperbarui: 3 Maret 2021   10:11 2104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah tulisan Ayu Diahastuti (Kompasiana, 5/1/2021) tentang "Sunk Cost Fallacy" yang membuat saya teringat lagi pelajaran saat dulu mengikuti mata kuliah Akuntansi Manajemen. Istilah sunk cost, merupakan istilah yang lazim pada mata kuliah itu.

Secara harfiah artinya adalah biaya yang tenggelam. Namun, pengertiannya secara bebas, menurut apa yang saya pahami, adalah pengeluaran yang dikeluarkan untuk menjajaki suatu usaha, tapi setelah dikaji ulang, usaha tersebut tidak bisa atau tidak layak dilakukan. Sehingga, biaya yang terlanjur keluar, hilang begitu saja.

Contoh yang paling sering dipakai dalam buku teks akuntansi adalah apa yang terjadi pada perusahaan pertambangan. Tidak jarang, sebuah perusahaan sudah habis-habisan mengeluarkan uang untuk meneliti kemungkinan adanya deposit tambang di suatu tempat. Namun, hasil penelitian menyimpulkan, kalau pun ada depositnya, tidak layak secara ekonomis.

Ya, memang ada kesan pengeluaran seperti itu berbau spekulatif. Tapi, dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, unsur spekulasinya bisa diminimalkan. Jadi, ketika suatu lokasi diduga punya deposit tambang, dasar ilmiahnya cukup kuat.

Biaya yang tenggelam bisa juga terjadi pada perusahaan yang baru berdiri dan menghujani calon konsumennya dengan promosi yang gencar. Misalnya memberikan diskon besar-besaran yang tidak masuk akal. Jika tidak hati-hati, atau tidak bisa dikompensasi dengan pemasukan lain, biaya promosi yang gencar itu akan benar-benar hilang.

Perusahaan startup menyebut diskon besar-besaran itu sebagai "strategi bakar uang". Ya, kalau napasnya panjang, sehingga waktu perusahaan pesaingnya sudah berguguran, lalu diskon tidak lagi berlaku, tentu tidak masalah. Tapi, perhitungan harus cermat dan matang.

Maka, bagi seorang yang akan terjun menjadi pelaku usaha, bisa jadi akan mengalami beberapa kali percobaan sebelum menemukan bisnis yang cocok dan bisa berkembang. Setiap kali melakukan percobaan, identik dengan keluarnya sejumlah uang. Agar tidak jadi beban pikiran, jangan anggap sebagai biaya yang tenggelam, tapi sebagai "uang sekolah".

Ada seorang bapak yang sangat kecewa dengan putranya. Sudah habis biaya yang besar untuk menguliahkannya di sebuah perguruan tinggi terkenal, gara-gara belum juga lulus ujian skripsi sebanyak dua kali, kesempatan ujian yang ketiga, dilepas begitu saja. Si anak memutuskan tidak mau menuntaskan kuliahnya.

Lalu, apakah semua biaya yang telah dikeluarkan untuk si anak, mulai dari SPP, kontrak kos-kosan, dan biaya lainnya selama 6,5 tahun (ia masih punya kesempatan 6 bulan lagi dari jatah masa kuliah maksimal 7 tahun, yang tak digunakannya), menjadi biaya yang tenggelam? 

Menurut saya, kalau pun tenggelam, tidak berlaku untuk semua biaya. Bukankah ilmu si anak sudah bertambah, meskipun ijazah sarjana gagal diraihnya. Menurut saya, si anak sudah sarjana, sebut saja "sarjana minus skripsi".

Ngomong-ngomong tentang sunk cost dalam versi lain, sebetulnya bisa pula dilihat dalam interaksi sosial. Seorang cowok yang sangat boros memberi hadiah kepada cewek yang ditaksirnya, padahal akhirnya si cewek menolak cinta si cowok, ini juga bisa disebut biaya yang tenggelam. Kalau yang seperti ini sulit untuk disebut sebagai "uang sekolah", jadi ya ikhlaskan saja.

Namun, kalau ada yang ngotot menyebutnya sebagai uang sekolah, juga tidak salah-salah amat. Asal si cowok menjadikan pengalaman masa lalu sebagai pelajaran berharga. Jadi, pada masa selanjutnya, si cowok mulai mengurangi sifat borosnya, kecuali bisa dipastikan si cewek sudah menyambut cinta si cowok.

Hanya saja, dalam relasi sosial, memang sulit untuk terlalu hitung-hitungan. Bila seseorang sudah senang, ia tak akan menyesalkan mengeluarkan sejumlah uang, meskipun uang tersebut nantinya tenggelam begitu saja. 

Hal itu tidak hanya berlaku dalam hubungan antar sepasang kekasih, tapi juga pemborosan orang tua yang memanjakan anak, pemborosan seseorang dalam memuaskan hobinya, dan sebagainya. 

Jadi, mau dianggap tenggelam atau uang sekolah, tidak lagi relevan. Yang penting, hal itu dilakukan dengan memakai uang sendiri, bukan dari berutang, bukan dari hasil korupsi, dan dilakukan dengan sadar atas segala konsekuensinya. Tapi, kalau boleh saya menyarankan, perilaku boros itu, meskipun membuat hepi, sebaiknya dikurangi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun