Seorang keponakan saya yang bekerja di sebuah BUMN dan tinggal di Depok, Jawa Barat, tiba-tiba mengirim foto melalui WA ke gawai saya. Foto sebuah rumah tak jauh dari rumahnya yang sekarang, tapi dengan lokasi lebih strategis karena berada di pinggir jalan yang lebih lebar.
Ia minta pandangan saya apakah sebaiknya ia membeli rumah tersebut. Soalnya, taksiran harga wajarnya untuk rumah itu menurut keponakan saya, sekitar Rp 800 juta. Tapi karena sudah satu bulan belum laku-laku, si penjual menurunkan harga jadi Rp 750 juta.
Karena dari referensi yang saya baca, pasar properti memang lagi lesu seiring bencana pandemi yang melanda negara kita, saya menyarankan kepada si keponakan agar menawar lagi. Saya yakin dengan harga Rp 700 juta, rumah itu akan dilepas, bila dibayar cepat dan langsung diberi uang muka sebagai tanda jadi.
Ternyata apa yang saya sarankan, betul-betul terjadi. Si penjual setuju dengan harga Rp 700 juta dengan catatan langsung dibayarkan uang muka Rp 100 juta dan pelunasan awal bulan berikutnya, atau kira-kira tiga minggu setelah pembayaran uang muka.
Tapi, gara-gara itu pula, saya terpaksa menguras dompet. Pasalnya, si keponakan dan istrinya yang sama-sama bekerja, dari tabungan mereka berdua hanya punya Rp 400 juta.Â
Sementara mau meminjam ke bank dengan skema kredit pemilikan rumah (KPR), atas dasar slip gaji mereka berdua, bisa saja dapat sekitar Rp 300 juta, tapi prosesnya lama.
Adapun pinjaman yang lebih cepat prosesnya berupa kredit serbaguna, dengan bunga lebih besar dan nominal pinjaman yang lebih kecil, hanya maksimal Rp 200 juta.Â
Untuk KPR, bank akan meneliti dulu kondisi rumah yang akan dibeli beserta surat-suratnya karena akan jadi jaminan kredit. Sedangkan pada kredit serbaguna, bank tidak ada urusan untuk apa kredit digunakan, asal nasabah bersedia dipotong gajinya setiap bulan.
Nah, tentu saja si keponakan masih butuh Rp 100 juta lagi. Ia minta tolong agar saya yang membantu dengan perjanjian akan dicicilnya setiap bulan selama 20 bulan.Â
Yah, namanya juga keponakan, tentu saya tidak tega untuk menolak. Â Apalagi saya tahu ia mampu mengembalikan pinjaman tersebut karena kariernya lumayan bagus di kantornya.
Sebetulnya, jika disebut si keponakan membutuhkan rumah, menurut saya bukan hal yang mendesak. Memang rumahnya sekarang relatif kecil, tapi masih memadai untuk didiami bersama istri, 2 orang anak yang masih kecil dan seorang asisten rumah tangga (ART).Â
Dugaan saya, ia membeli rumah dengan motif untuk investasi, mengingat kalau ditempatkan di bank, bunga deposito sekarang ini sangat rendah, hanya 4 persen per tahun, itupun harus dipotong pajak 20 persen dari bunga yang diterima.Â
Sekarang memang waktu yang tepat untuk membeli properti, mengingat gara-gara pandemi harganya sedikit turun. Tapi, begitu pandemi berlalu, diyakini harga properti kembali normal, dalam arti sesuai dengan kelaziman yang naik harganya dari tahun ke tahun.Â
Pengalaman keponakan saya tersebut di atas ternyata sejalan dengan liputan Kompas (30/10/2020) terkait perkembangan terkini pasar properti di tanah air. Kompas mengangkat hasil survei yang dilakukan Indonesia Property Watch (IPW) yang berjudul "Tren Pasar Perumahan Jabodebek-Banten Kuartal III-2020".
Nilai penjualan rumah pada kuartal III turun 17,4 persen dibandingkan kuartal II, atau dalam nilai rupiah, dari Rp 1,304 triliun penjualan rumah selama kuartal II menjadi hanya Rp 1,077 triliun pada kuartal III.Â
Namun demikian, dilihat dari komposisi penjualan antar segmen, unit hunian yang terjual meningkat pada kelas menengah ke atas, yakni untuk rumah berharga di atas Rp 500 juta. Pada level harga Rp 501 juta-Rp 1 miliar, mengalami kenaikan 8,5 persen dan yang berharga di atas Rp 1 miliar naik 2,9 persen.
Adapun untuk segmen menengah ke bawah, pada harga di bawah Rp 300 juta mengalami penurunan 4,4 persen. Sedangkan yang turun signifikan adalah pada harga Rp 301 juta hingga Rp 500 juta, turun 7 persen.
Tidak demikian halnya bagi segmen atas yang masih punya likuiditas. Bingung karena turunnya suku bunga deposito, obligasi, dan harga saham, menjadikan properti sebagai pilihan yang tepat.
Maka, masalah ketimpangan kesejahteraan antar segmen, yang dari dulu memang jadi problem di negara kita, karena pandemi menjadi semakin terlihat. Perlu gebrakan lain dari pemerintah, selain memberikan bantuan sosial seperti yang sudah dilakukan.