Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Malunya Warga Kota Medan, Tiga Wali Kota Berturut-turut Terjerat Korupsi

5 Oktober 2020   18:00 Diperbarui: 5 Oktober 2020   18:20 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua calon wali kota Medan (dok. cnnindonesia.com)

Jangan mengira orang kecil, maksudnya seperti mereka yang berpendapatan rendah dan bekerja di sektor informal, tidak kritis dalam menilai pembangunan di kota tempat tinggalnya.

Paling tidak, kesan itu mengemuka ketika secara kebetulan saya menonton siaran berita dari salah satu stasiun televisi, Senin siang (5/10/2020). Saat itu tiga orang warga kota Medan, Sumatera Utara, diwawancarai reporter televisi.

Ketiga orang tersebut berprofesi sebagai pedagang kaki lima, tukang tambal ban di pinggir jalan, dan penjual makanan yang memakai gerobak dorong. Semuanya mengaku kenal dengan dua orang calon wali kota yang akan bertarung menjadi orang nomor satu di kota Medan pada pilkada serentak, 9 Desember 2020 mendatang.

Memang setelah saya cek di media daring, hanya ada dua pasangan calon (paslon) yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan, dan kedua calon wali kota sama-sama bermarga Nasution.

Paslon pertama adalah pasangan Muhammad Bobby Afif Nasution - Aulia Rachman. Inilah pasangan yang namanya sering menghiasi media massa nasional karena dinilai sebagai bagian dari politik dinasti, di mana Bobby Nasution adalah menantu Presiden Joko Widodo.

Tak tanggung-tanggung, ada 8 partai yang menjadi pengusung Bobby - Aulia, yang dimotori oleh PDI Perjuangan. Adapun partai pengusung lainnya adalah Golkar, Nasdem, PAN, Hanura, PSI, PPP, dan Gerindra. Tak heran, pasangan ini difavoritkan untuk memenangi pilkada, jika semua partai pengusung bekerja dengan giat.

Namun demikian, diperkirakan tidak akan mudah bagi Bobby - Aulia mengalahkan pesaingnya, paslon Akhyar Nasution - Salman Alfarisi. Memang hanya 2 partai yang menjadi pegusung Akhyar, yakni PKS dan Demokrat. 

Tapi jangan lupa, Akhyar adalah Plt Wali Kota Medan dan Salman menjabat Wakil Ketua DPRD Sumut. Tentu untuk mengikuti pilkada, keduanya harus melepaskan jabatannya. Namun jelas, bahwa keduanya sudah punya jam terbang yang lumayan dalam perpolitikan lokal.

Apalagi Akhyar adalah kader PDI Perjuangan yang sebelumnya menjadi Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut. Tapi apa boleh buat, keputusan Akhyar meloncat ke kubu Partai Demokrat, berbuah pemecatan atas dirinya oleh DPP PDI Perjuangan.

Jika Akhyar pintar memainkan emosi warga Medan dengan menonjolkan citranya sebagai korban karena pemecatan di atas, dan di lain pihak bila citra politik dinasti selalu dihembuskan kepada Bobby, bukan tidak mungkin Akhyar lah yang akan tampil sebagai pemenang.

Nah, kembali kepada wawancara reporter televisi dengan tiga orang kecil di atas, ternyata mereka lumayan melek politik. Yang satu orang menyatakan harapannya agar Medan lebih berkembang lagi dengan terlebih dahulu berhasil menangani pandemi Covid-19.

Orang kedua menyatakan aspirasinya agar kota Medan memperbanyak pembangunan jalan layang dan membebaskan Medan dari kemacetan lalu lintas. Yang menarik bagi saya adalah komentar orang ketiga, yang menyatakan malu sebagai orang Medan, karena tiga wali kota sebelumnya berturut-turut terlibat korupsi. Jadi ia mengingatkan agar yang terpilih nantinya betul-betul tidak tergoda untuk korupsi.

Betul, setelah saya mencari referensi di berita daring, tiga wali kota yang tersandung kasus korupsi tersebut adalah Abdillah (Wali Kota Medan periode 2005-2010, Rahudman Harahap (wali kota periode 2010-2015), dan wali kota setelah itu Dzulmi Eldin. Sekiranya Dzulmi tidak terjerat, tentu masih menjabat sebagai wali kota hingga sekarang.

Memang, kasus korupsi bukan hanya terjadi di Medan. Tapi tiga orang wali kota yang berturut-turut korupsi termasuk jarang. Meskipun ada yang sama "gila"-nya dengan Medan, yakni Provinsi Riau, di mana 3 orang gubernurnya berturut-turut terlibat korupsi (Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun). Apakah korupsi sudah membudaya?

Setelah isu tunda pilkada tidak lagi menguat, sepertinya pilkada serentak akan tetap berlangsung pada 9 Desember mendatang. Menarik untuk menunggu bagaimana hasil pilkada di Kota Medan. Terlepas dari paslon mana yang akhirnya mendapat kepercayaan dari mayoritas warga kota terbesar di pulau Sumatera tersebut, satu hal yang tak dapat ditawar lagi, jangan kecewakan rakyat setempat.

Atau secara lebih tegas, jangan ada lagi wali kota yang terjerat kasus korupsi. Jangan sampai muncul mitos, semacam ada kutukan bahwa siapapun yang jadi penguasa di Medan, akan terlibat korupsi. Jangan sampai seperti itu, meskipun ada candaan bahwa "Sumut" itu diartikan sebagai "semua urusan mesti pakai uang tunai" yang menyindir budaya pungutan liar untuk mengurus sesuatu di instansi pemerintahan setempat.

Jelaslah, beban berat menunggu wali kota yang baru. Menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi, bukan tugas enteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun