Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"E Pluribus Unum" Terkoyak, Semoga "Bhinneka Tunggal Ika" Tidak

1 September 2020   00:01 Diperbarui: 1 September 2020   06:00 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem demokrasi diyakini menjadi sistem yang paling baik dalam mengelola sebuah negara, karena menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bukan di bawah kekuasaan seorang raja seperti di sebuah negara berbentuk kerajaan.

Di negara kita sendiri, para pemimpin bangsa telah sepakat untuk memakai sistem demokrasi. Paling tidak, sejak Indonesia merdeka, label demokrasi sudah disematkan, seperti pada sistem demokrasi parlementer (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1998), dan sekarang sebut saja sebagai demokrasi reformasi.

Hanya saja, berlabel demokrasi, tidak otomastis membuat kita telah demokratis. Pada praktiknya, kita masih berusaha untuk terus menerus memperbaiki sistem demokrasi. Memang saat ini suara rakyat menjadi penentu untuk memilih kepala daerah, anggota parlemen, dan juga presiden beserta wakilnya. 

Meskipun demikian, dalam praktiknya belum begitu mulus, dan partai politik (parpol) tertentu terlihat berperan dominan untuk "menggiring" pilihan rakyat. Dalam penetapan calon kepala daerah, masih saja ada parpol yang mencalonkan figur-figur yang royal memberikan mahar politik, bukan figur yang bersih dan memiliki kapabilitas. Suara rakyat pun diyakini masih bisa dijaring dengan mengguyurkan politik uang.

Beradasarkan pemeringkatan yang dilakukan The Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati peringkat demokrasi ke-64 dari 167 negara pada 2019 lalu (kompas.com, 23/01/2020). Adapun negara yang menduduki peringkat pertama adalah Norwegia. 

Harus diakui, melaksanakan demokrasi, tidaklah semudah menceramahkannya atau menyusun konsepnya. Amerika Serikat (AS) saja yang sering disebut sebagai kiblat demokrasi dan mengaku sebagai paling demokratis, malah tidak termasuk dalam belasan negara yang berada pada lapis teratas yang disebut sebagai negara full democracy. 

Telah hampir dua setengah abad merdeka, tidak menjadikan AS bebas dari persoalan rasis. Baru-baru ini, Minggu (23/8/2020) terjadi lagi penembakan brutal oleh seorang polisi terhadap seorang pemuda kulit hitam, Jacob S Blake di Kenosha, Wisconsin. Ada tujuh kali tembakan yang dilepaskan polisi ketika Blake berada di mobil disaksikan anak-anaknya.

Padahal tiga bulan sebelumnya, tepatnya pada 25 Mei 2020, seorang pemuda kilit hitam, George Floyd, mati di tangan polisi. Tak pelak lagi, ketika itu gelombang aksi protes pun terjadi si seantero AS, bahkan meluas ke beberapa negara Eropa. Sebetulnya, persepsi warga AS sudah berubah dan lebih menghargai kebersamaan. Tapi tindakan penembakan terhadap warga kulit hitam masih saja terjadi.

Kali ini, aksi protes juga melibatkan beberapa klub basket profesional di AS yang bereaksi keras. Para pemain dari beberapa klub melakukan aksi boikot, menolak bermain sebagai bentuk protes dan unjuk keprihatinan atas masalah rasialisme yang terus berlangsung di negara itu. Padahal banyak bintang basket yang berkulit hitam, dan merasa pemilik klub belum nendengarkan suara pemain.

Kompas (28/8/2020) memberitakan tentang aksi boikot di panggung olahraga AS tersebut. Disebutkan bahwa mereka (para atlet maksudnya) tidak mampu lagi menahan amarah karena ketidaksetaraan rasial yang terus terjadi. Mereka datang ke lapangan bukan untuk mencari kemenangan, tapi hanya ingin mencari kesetaraan. Keadilan dan perubahan, itulah tuntutan mereka.

Tampaknya moto negara adidaya yang berbunyi "E Pluribus Unum" yang dideklarasikan pada 1776 ketika AS mengumandangkan kemerdekaannya, telah beberapa kali terkoyak. Moto itu sendiri yang diambil dari bahasa Latin, secara harafiah berarti "dari banyak menjadi satu". 

Mungkin konsepnya tidak persis sama dengan moto Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu". Tapi pada dasarnya, baik AS maupun Indonesia secara konstitusional memberi tempat terhormat untuk keberagaman atau pluralitas.

Namun ternyata semua itu tidak cukup sekadar tertulis pada konstitusi. Warga AS harus belajar lagi tentang hakikat "E Pluribus Unum", demikian pula warga negara kita tercinta ini, harus selalu belajar, menghayati, dan mengamalkan "Bhinneka Tunggal Ika".

Patut dicatat bahwa AS pernah punya harapan ketika Barack Obama yang berkulit hitam terpilih menjadi presiden. Selama dua periode, dari 2009 hingga 2017, Obama yang masa kecilnya pernah dilalui di Indonesia, menjadi orang nomor 1 di AS. Tapi itu belum cukup kuat untuk menegakkan prinsip kesetaraan, apalagi presiden sekarang, Donald Trump, dituding oleh para pengamat sebagai rasis.

Bagi kita di Indonesia, tentu bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi di AS. Kesetaraan dan keadilan, terhadap warga asli di belahan timur Indonesia, harus terwujud secara nyata, dengan mempersempit kesenjangan di segala bidang. 

Tidak cukup dengan menempatkan seorang menteri atau pejabat lain di tingkat pusat yang berasal dari belahan timur. Tapi betul-betul dengan memberi tempat seluas-luasnya bagi saudara-saudara kita di sana menyampaikan aspirasinya, didengarkan dengan tulus serta ditindaklanjuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun