Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Basa-basi, Seberapa Perlu?

25 Oktober 2020   09:28 Diperbarui: 26 Oktober 2020   12:03 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.foodyas.com)

Konon, Indonesia terkenal sebagai negara yang masyarakatnya paling suka berbasa-basi. Meskipun, tingkat basa-basi di daerah perkotaan mulai semakin berkurang. Tapi tetap saja, dalam setiap pembicaraan antar dua orang atau lebih, sering diawali dengan basa-basi.

Jika ada dua orang yang tidak saling kenal duduk berdekatan di sebuah bus antar kota, lalu salah seorang di antaranya mau makan roti yang dibawanya, lazimnya ia akan menawarkan roti tersebut terlebih dahulu ke penumpang di sebelahnya. Si penumpang yang ditawari langsung mengerti bahwa tawaran tersebut hanya sekadar basa-basi, makanya ia akan menolak dengan sopan.

Kalau dua orang yang sudah akrab bertemu, tentu basa-basinya bisa lebih lama. Pertanyaan "sudah makan atau belum", meskipun tidak bermaksud menawarkan makanan dan tidak pula mau mentraktir, merupakan hal yang biasa. 

Dalam percakapan melalui telepon, pertanyaan "lagi ngapain" yang terkesan seperti mencampuri urusan orang lain, sebetulnya juga basa-basi. Jawabannya pun tidak perlu serius, cukup dengan berbasa-basi pula. Umpamanya, dengan menjawab "lagi gak ngapa-ngapain," dengan maksud sekadar memberitahu bahwa ia siap menerima telepon.

Bahkan, seandainya lagi sibuk, jika yang menelpon adalah teman akrab, akan tidak tega kalau dibilang secara jujur, takut dianggap menolak untuk berbicara. 

Parahnya, jika si penelpon suka ngomong berlama-lama, si penerima juga sungkan untuk meminta percakapan agar diakhiri saja. Akibatnya, demi sopan santun, pekerjaan jadi terbengkalai.

Sudah begitu, ketika maksud utama pembicaraan telah kelar, untuk bagian penutup butuh lagi beberapa menit kembali berbasa basi. Misalnya, dengan menawarkan agar lawan bicaranya mau berkunjung ke rumahnya, atau bertanya kabar anak-anak, sekolahnya, pekerjaannya, kapan mau mantu, atau kapan mau punya cucu, dan sebagainya.

Ya, begitulah risiko bagi orang yang merasa tidak enak untuk bilang tidak. Padahal kalau berani mengatakan bahwa ia tak punya waktu banyak, pasti pembicaraan langsung ke pokok masalah. Dan orang yang tidak berani bilang tidak seperti itu lumayan banyak.

Ucapan yang bernada pujian, sering pula meluncur sebagai kalimat pembuka dalam pembicaran face to face, seperti "makin cantik saja", "kelihatannya awet muda terus", "kayaknya sudah jadi bos ya". Memuji pakaian, tas, atau hal lain yang berhubungan dengan penampilan seseorang, juga lumrah. 

Terlalu berlebihan dalam memberikan pujian, apalagi tidak secara tulus, sebenarnya tidak bagus. Lama-lama jadi membosankan bagi yang dipuji. Tapi, terlalu cuek, juga jelek, kalau mengacu pada kebiasaan masyarakat di negara kita.

Akan berbeda halnya, bila seseorang bertanya melalui telepon atau mengirim pesan singkat kepada orang yang sangat dekat seperti antar suami isteri atau sepasang kekasih. Jika bertanya "lagi ngapain" atau "lagi di mana" dengan aroma kemesraan, itu bagian dari bujuk rayu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun