Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanpa Acara Resepsi Pernikahan, Sanggar Seni Tradisional Tak Terselamatkan

26 Juli 2020   07:46 Diperbarui: 26 Juli 2020   08:46 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. tribunnews.com

Setiap menghadiri acara resepsi pernikahan, saya selalu berusaha datang tepat waktu. Bahkan mengingat kemacetan di Jakarta yang susah diprediksi, sering pula saya sudah sampai di tempat resepsi sekitar 15 menit sebelum acara dimulai sesuai waktu yang tertera di undangan.

Bayangkan kalau acaranya molor 15 menit, artinya sekitar 30 menit lamanya saya "membuang" waktu. Tapi saya sendiri merasa lebih baik datang terlalu cepat ketimbang terlambat. Pertama, saya lebih gampang mencari tempat parkir kendaraan. Kedua, posisi saya buat bersalaman dengan kedua mempelai, lebih ke depan.

Nah, yang ketiga ini yang paling penting, saya bisa menikmati acara dari awal. Biasanya ada atraksi kesenian tradisional sesuai daerah asal pengantin, yang ditampilkan pada saat pembukaan. Saat iring-iringan mempelai beserta keluarganya memasuki gedung resepsi menuju panggung pelaminan, akan didahului oleh kelompok penari tradisional.

Kemudian biasanya setelah kedua mempelai dan dua pasang orang tua mempelai sudah duduk di atas pelaminan, pertunjukan kesenian daerah masih saja berlanjut dan menjadi hiburan tersendiri bagi para undangan.

Di negara kita, acara resepsi pernikahan adalah peristiwa budaya. Tidak hanya pertunjukan kesenian, tapi dekorasi dan busana mempelai beserta keluarganya, dengan jelas bercirikan budaya dari etnis tertentu.

Tentu budaya yang dipakai merupakan hasil kesepakatan dari kedua pengantin beserta masing-masing keluarganya. Jika keduanya berasal dari etnis yang sama, misalnya sama-sama Jawa, ya sudah pasti nuansa Jawa sangat terasa.

Tapi bila sebagai misal seorang lelaki Jawa berjodoh dengan wanita Sunda, maka tinggal dimusyawarahkan, apakah mau pakai cara Jawa atau Sunda. Alhamdulillah, sejak saya menjadi warga DKI Jakarta tahun pada akhir dekade 80-an lalu, saya sudah menghadiri resepsi pernikahan yang merepresentasikan berbagai budaya.

Tidak hanya Jawa, Sunda, atau Betawi sebagai warga mayoritas di Jakarta. Namun juga budaya Aceh, Batak, Melayu-Deli, Minang, Melayu-Palembang, Lampung, Banjar, Bali, Bugis, Minahasa, dan beberapa suku lainnya, telah menambah wawasan saya tentang kebudayaan tradisional.

Beberapa jenis tarian daerah malah disambut dengan begitu antusias oleh para hadirin di suatu resepsi. Contohnya, Tari Piring dari kesenian Minang, di mana terdapat adegan penari yang menginjak-injak pecahan piring secara atraktif dan menimbulkan decak kagum penonton karena tidak sedikit pun melukai penarinya.

Lain lagi yang mendahului iring-iringan pengantin ala Sunda. Selalu diawali oleh adegan tarian lucu dari aki-aki (kakek) berpakaian Sunda dan juga diiringi musik tradisional Sunda. Si kakek ini juga memberikan kata-kata lucu, namun sebetulnya berisi nasehat bagi kedua pengantin.

Belum lagi kalau kita berbicara keindahan sastra lisan dari masing-masing daerah. Budaya berpantun di masyarakat Betawi, Melayu, Minang, dan suku lainnya, sungguh menarik. Dalam budaya Minang disebut juga dengan pepatah-petitih yang ucapannya mengandung pengertian yang dalam, luas, dan bernilai filosofis.

Dalam adat Minang, saat seorang lelaki menikah, diberi gelar adat oleh pemuka adat setempat. Ketek banamo gadang bagala, adalah cara yang berlaku di sana, yakni waktu kecil seorang lelaki dipanggil sesuai namanya dan sewaktu sudah besar (maksudnya sudah menikah), tidak boleh dipanggil namanya, namun gelarnya, seperti Sutan Bagindo, Sutan Parmato, dan sebagainya.

Menarik pula, bahwa meskipun berbagai suku merantau ke ibu kota Jakarta, tidak berarti para perantau tersebut melupakan akar budayanya. Itulah yang terlihat pada berbagai acara resepsi pernikahan di Jakarta. Acaranya boleh saja digelar di ballroom hotel berbintang lima, tapi budaya yang ditampilkan bukan budaya pernikahan barat.

Seperti telah disinggung sebelumnya, tetap saja yang diperlihatkan kepada para undangan, budaya dari salah satu etnis di Indonesia. Memang tak terelakkan lagi, kadang-kadang juga banyak panitia yang memakai jas dan dasi. Ada musik pop dengan lagu-lagu barat. Tak sedikit pula makanan asing yang dihidangkan buat para tamu. Namun unsur tradisional tidak ditinggalkan sama sekali.

Maka saya sangat yakin, budaya kita tidak akan punah. Meskipun semakin banyak generasi milenial yang terpengaruh dengan hal yang serba luar negeri, baik makanannya, film atau musiknya, sebagaimana maraknya penggemar film dan penyanyi asal Korea Selatan, dapat dipastikan bahwa ketika mereka menikah, meraka masih setia dengan budaya lokal.

Diakui atau tidak, sebetulnya kesenian tradisional terselamatkan oleh adanya acara resepsi pernikahan. Jika tidak ada acara seperti, mungkin sanggar seni tradisional tidak lagi bisa eksis. Maka di tengah hiruk pikuknya tari-tarian dan nyanyian asing, kita pantas bersyukur masih saja ada anak muda dan para remaja yang mau mendalami kesenian tradisional yang dipelajarinya di berbagai sanggar seni.

Masalahnya, dengan terjadinya bencana pandemi Covid-19 di negeri kita yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, sanggar seni budaya tradisional pun sepi dari pesanan untuk tampil di acara resepsi pernikahan. Semoga saja semangat para penggiat seni tradisional tidak ikut hilang, sembari berharap bencana pandemi cepat berakhir di negeri kita tercinta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun