Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Rp 170 Triliun Uang Pemda Mengendap di Bank, Mubazirkah?

17 Juli 2020   08:16 Diperbarui: 17 Juli 2020   08:43 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang anggaran pemerintah daerah  (Pemda) yang mengendap di bank karena realisasi berbagai program tidak secepat yang direncanakan, sebetulnya bukan berita baru. Seperti yang diberitakan sejumlah media, antara lain kompas.id  (16/7/2020), Presiden Joko Widodo telah memerintahkan pemda mempercepat realisasi serapan anggaran yang masih rendah.

Tidak digambarkan dengan jelas apakah presiden marah-marah lagi seperti saat menegur para menteri pada sidang kabinet beberapa hari yang lalu. Ketika itu presiden sampai mengeluarkan ancaman untuk mengganti menteri yang dinilai berkinerja jelek. Konteksnya sama, yakni daya serap anggaran negara yang rendah.

Namun demikian, kalau saja presiden merasa jengkel dengan kinerja para gubernur yang juga lamban merealisir penyerapan anggaran pemda masing-masing, dapat dimengerti. Tapi, posisi gubernur sedikit di atas angin ketimbang menteri, karena gubernur tidak mungkin digertak akan diganti oleh presiden di tengah jalan.

Hukuman bagi gubernur paling-paling tidak akan dipilih lagi oleh rakyat setempat. Itupun bila sang gubernur masih berhak maju lagi dalam pilgub mendatang. Maka yang diharapkan hanya menggugah rasa tanggung jawab seorang gubernur sebagai seorang pemimpin. 

Tentu saja maksud permintaan presiden di atas sangat baik. Dengan mempercepat realisasi serapan anggaran, maka pemda berarti sekaligus mengucurkan dananya untuk  keperluan berbagai proyek yang tengah digarap, baik berupa pembelian barang, upah pekerja yang digunakan proyek tersebut, dan sebagainya. Pada gilirannya, mereka yang menerima uang dari pemda juga akan berbelanja untuk kebutuhan sehari-harinya, sehingga ekonomi akan berputar kembali.

Dalam ilmu ekonomi ada yang disebut dengan multiplier effect. Maksudnya dengan uang yang semakin banyak serta semakin sering berputar, akan memberikan dampak berganda, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka dapat dimengerti bila anggaran pemda masih mengendap di bank, akan muncul anggapan bahwa roda perekonomian akan relatif stagnan.

Tapi apakah anggaran pemda yang mengendap di bank, dalam hal ini besar kemungkinan adalah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) milik daerah masing-masing, betul-betul mengendap, dalam arti menjadi idle money (uang menganggur)? Ini yang perlu diluruskan.

Manajemen bank manapun pasti sangat paham, membiarkan idle money adalah sebuah "dosa" besar, karena akan sangat merugikan bank. Ingat, definisi bank sejak dulu belum mengalami perubahan, yakni lembaga intermediasi (perantara) antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana.

Jadi, masyarakat yang mempunyai kelebihan uang, silakan menabung di bank, sedangkan masyarakat yang membutuhkan uang, dengan syarat memenuhi persyaratan yang ditetapkan bank, silakan meminjam ke bank. Dari selisih suku bunga yang dibayarkan bank ke penabung dengan yang diterima bank dari peminjam, menjadi keuntungan buat bank.

Maka bila pemda belum lagi menggunakan uang yang telah dianggarkan, langkahnya untuk memarkir di bank, merupakan langkah yang tepat. Bila disimpan di  lemari besi di kantor gubernur, sangat besar risikonya, karena betul-betul menganggur. Adapun bila disimpan di bank, tidak akan lama-lama diparkir, paling esok harinya sudah ditempatkan bank dalam berbagai instrumen keuangan.

Idealnya, bank akan memutarkan dana pemda tersebut untuk pengucuran kredit bagi pengusaha yang membutuhkan modal di daerah masing-masing. Hanya saja proses analisis terhadap suatu permohonan kredit, tidak bisa berlangsung cepat, dan itupun belum tentu menurut kacamata bank, si pemohon layak diberi kredit.

Dengan demikian, agar uang pemda tidak mubazir, oleh bank lazimnya  akan dibelikan pada surat berharga negara (SBN). Seperti diketahui, pemerintah pusat membutuhkan anggaran yang sangat besar, dan itu antara lain didapat melalui utang dengan menjual SBN tersebut.

Bila BPD membeli SBN, artinya dana yang tak terserap di daerah akan terserap oleh pemerintah pusat. Bisa juga BPD membeli obligasi (surat utang) yang diterbitkan korporasi yang diyakini punya reputasi tinggi. Sebagai imbalannya, seperti pada SBN di atas, bank akan mendapatkan imbalan berupa bunga secara periodik dan pencairan pokok obligasi pada saat jatuh tempo. Artinya, dana pemda buat sementara akan diserap oleh sektor swasta.

Kesimpulannya, uang pemda yang belum terpakai tidak betul-betul mubazir, hanya penggunaannya jadi tidak sesuai, tidak beredar di daerah masing-masing, tapi kemungkinan besar lari ke ibu kota, baik ke pemerintah pusat, maupun ke korporasi. Namun bila masing-masing BPD mengucurkannya sebagai kredit kepada pengusaha lokal setempat, akan lebih bermanfaat untuk menggerakkan perekonomian daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun