Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penerimaan Siswa Baru, Jangan Sampai Dicemari "Susu Tante dan Susu Dara"

9 Juli 2020   08:09 Diperbarui: 9 Juli 2020   08:16 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. satuharapan.com

Susu Tante pada judul di atas bukan sesuatu yang berbau pornografi, tapi akronim dari sumbangan suka rela tanpa tekanan. Demikian pula Susu Dara, maksudnya sumbangan suka rela dengan arahan. Jelas dua-duanya berkaitan dengan uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sesuatu.

Kedua istilah tersebut sempat mengemuka di media massa bersamaan dengan pilkada DKI Jakarta yang diikuti oleh pasangan Ahok-Djarot. Seperti dilansir dari suara.com (27/9/2016), Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengungkapkan seluruh anggota Fraksi PDIP di DPR diperintahkan untuk membantu kampanye pasangan tersebut.

Nilai bantuannya tidak dipatok dan istilahnya disebut Susu Tante. Tapi bila jumlah sumbangan belum cukup, nilai bantuannya akan dinaikkan lagi, sehingga istilahnya berubah jadi Susu Dara. Jadi susu tante dululah, bila tidak mempan, baru susu dara.

Tapi sebenarnya, pada zaman Orde Baru, istilah susu tante sudah lumayan populer. Ketika itu istilah ini dikaitkan dengan berbagai pungutan liar (pungli)  di jalan raya maupun di pelabuhan, yang membuat angkutan barang jadi berbiaya mahal. 

Tentu tidak hanya di jalan raya saja adanya susu tante. Di era 1980-an, untuk masuk sekolah negeri atau masuk menjadi pegawai negeri, ada pula oknum yang bermain, baik dengan pola susu tante (tanpa tarif), maupun dengan susu dara (pakai tarif).

Demikian pula dalam mengurus berbagai perizinan, termasuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). 

Nah, karena sekarang ini merupakan momen penerimaan siswa baru, di mana terjadi polemik seputar dipakainya parameter usia untuk bisa lolos seleksi masuk SMP, SMA, dan SMK yang berstatus sekolah negeri, maka susu tante dan susu dara yang dimaksud di tulisan ini berkaitan dengan urusan masuk sekolah tersebut.

Terlepas dari soal usia yang menguntungkan pelamar berusia lebih tua, sekolah negeri sejak beberapa tahun terkahir ini telah menjadi pilihan utama banyak orang tua. Artinya, orang tua baru menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta bila gagal dalam seleksi masuk sekolah negeri yang diincarnya.

Kenapa sekolah negeri demikian diburu? Karena sekarang gedungnya lebih bagus, fasilitasnya lebih lengkap, mutunya juga lebih baik dilihat dari lulusannya yang lolos masuk perguruan tinggi negeri, dan yang terpenting, biayanya gratis.

Tapi betulkah betul-betul gratis? Untuk pungutan bulanan berupa Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) memang banyak pemerintah daerah yang menggratiskan. Tapi bagaimana dengan biaya di luar SPP?

Bisa jadi kalau disebut sebagai susu tante masih bisa diperdebatkan. Namun yang dimaksudkan bahwa tidak ada yang betul-betul gratis. Bagi mereka yang berasal dari kalangan kelas bawah, ada yang kurang nyaman bila bersekolah di sekolah negeri. Begitu ada kegiatan kumpul-kumpul dalam paguyuban orang tua siswa, mereka biasanya minder.

Justru pengurus paguyuban yang dibentuk untuk setiap kelas ini biasanya dipimpin oleh orang tua siswa yang kaya. Lalu entah sudah dibisiki oleh guru wali kelas atau murni ide dari pengurus, akan diputuskan besarnya iuran bulanan untuk paguyuban yang harus dibayar setiap siswa.

Tujuan uang tersebut antara lain untuk membeli AC dan membayar biaya listrik yang boros dengan adanya AC itu tadi. Kemudian juga sebagai cicilan untuk acara study tour di akhir tahun pelajaran, dan mungkin juga kado buat para guru.

Kemudian kas paguyuban lazim pula dipakai untuk sumbangan sosial, termasuk untuk membeli buah tangan bila ada siswa atau orang tuanya yang sakit atau mendapat musibah.

Belum lagi bila ada kegiatan pentas seni, berbagai perlombaan, atau event lainnya, biasanya juga membutuhkan biaya yang akhirnya menjadi beban para siswa.

Masih ada lagi biaya yang relatif besar, sekarang zamannya setiap siswa punya laptop, sekaligus perlu biaya paket internet yang lumayan mahal. Apalagi sejak pandemi Covid-19 sekarang yang membuat siswa terpaksa belajar dari rumah.

Ada seorang teman yang punya pengalaman unik. Sebagai pensiunan dengan penghasilan per bulan yang tidak sampai sebesar UMR di DKI Jakarta, dia bersyukur ketika tahun lalu anak bungsunya yang seorang perempuan, berhasil masuk SMA negeri di kawasan Jakarta Selatan.

Tapi sayangnya, istri teman ini merasa minder kalau lagi ada acara paguyuban orang tua siswa. Ia merasa kalah kelas. Si anak pun juga merasa tidak cocok bergaul dengan teman-teman satu kelasnya.

Alhasil, si anak pun pindah ke sekolah swasta, setelah hanya bertahan satu semester di sekolah negeri yang bebas biaya SPP. Ia memilih membayar SPP di sekolah swasta, tapi uang paguyubannya kecil dan para orang tua siswa lain rata-rata juga kelas menengah ke bawah, yang tidak membuat si anak dan orang tuanya minder.

Jadi, apakah tepat atau tidak disebut susu tante atau susu dara, yang jelas sekolah negeri tidak betul-betul bebas dari biaya. Sekarang sekolah negeri menjadi pilihan bagi orang-orang yang berduit. Ada saja ide brilian untuk aktivitas siswa yang akhirnya membutuhkan biaya.

Itulah yang menyebabkan sekolah negeri belum tentu ramah bagi minoritas siswa yang berasal keluarga berpendapat rendah di tengah mayoritas kalangan berpunya.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun