Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Saya Lebih Suka Memakai Kata Panggilan "Mas" dan "Mbak"?

11 Juli 2020   00:07 Diperbarui: 3 Juni 2021   17:08 4459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi kalau saya berkenalan dengan laki-laki Minang yang saya taksir usianya lebih muda dari saya, dan saya belum tahu nama kecilnya, saya jadi kelabakan. Kalau saya panggil pakai uda, sangat mungkin ia tersinggung. Nah di sinilah menurut saya keunggulan "mas" yang fleksibel kertimbang "uda" yang kaku.

Jadi, akhirnya menjadi kebiasaan saya untuk menggunakan mas dan mbak, bahkan tanpa saya sadari juga saya tujukan kepada orang Minang di perantauan yang baru saya kenal. Kebiasaan inilah yang terbawa-bawa dalam aktivitas saya di Kompasiana.

Masalahnya, dalam kesopanan berinteraksi, budaya ketimuran kita kurang kondusif untuk langsung saling memanggil nama seperti yang lazim dalam budaya barat. Di sinilah pentingnya sebutan pak, bu, abang, bung, termasuk mas dan mbak.

Maka kepada kompasianer yang sering saya sapa mengunakan mas dan mbak, mohon keikhlasannya untuk menerima. Kecuali yang saya sudah yakin usianya beberapa tahun di atas saya seperti pasangan suami istri Pak Tjipta dan Bu Lina yang sangat saya hormati, saya pakai pak dan bu.

Sebagai contoh, kepada kompasianer Zaldy Chan, saya menggunakan mas. Saya yakin umurnya masih di bawah saya, makanya kurang pas kalau saya panggil uda, meskipun ia banyak menulis tentang Minang, dan mungkin juga berdarah Minang. 

Begitu pula kompasianer Fatmi Sunarya yang orang Kerinci, yang budayanya juga agak mirip Minang. Ini juga saya yakini usianya jauh lebih muda dari saya, dan  tak mungkin saya panggil uni. Mbak Fatmi, demikian jadinya saya menyapanya.

Baca juga : Amburadulnya Panggilan Silsilah Keluarga "Zaman Now"

Tapi ada beberapa kompasianer yang sudah memasang nama panggilan di depan namanya, sehingga saya pakai begitu saja seperti yang tertulis. Ayah Tuah, misalnya, menurut saya tidak tepat kalau saya panggil Pak Ayah atau Mas Ayah. Demikian juga Om Gege atau Kang Marakara. 

Ada versi lainnya yang juga menjadi pengecualian. Beberapa kompasianer yang bermarga Batak, saya panggil dengan bang. Namun untuk yang perempuan, meskipun ada marga di belakang namanya, kembali saya pakai mbak, karena saya tidak begitu memahami apakah boleh dipanggil ito?

Nah, yang membuat saya bingung adalah untuk nama yang bersifat netral, mungkin laki-laki, mungkin juga perempuan. Kalau ada profil picture-nya, saya akan terbantu. Sayangnya, nama netral seperti itu banyak yang tidak memasang foto diri. Akhirnya saya main tebak-tebakan, dengan memilih salah satu, mas atau mbak. Tentu dengan probabilita akurasi yang hanya 50 persen.

Begitulah, semoga alasan saya di atas dapat diterima dengan baik oleh semua kompasianer yang saya sapa di blog tercinta ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun