Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sering Menahan Rasa Marah, Betulkah Bisa Jadi Sakit Jantung?

10 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 10 Mei 2020   10:22 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. nu.or.id (freepik)

Jelek-jelek begini, saya pernah punya sekitar 100 orang personil yang secara struktur organisasi di tempat saya bekerja, menjadi bawahan saya. Kata orang, saya termasuk tipe atasan yang tidak bisa marah. Kenyataannya memang begitu, saya tidak pernah memarahi anak buah. 

Tapi saya akan menolak kalau disebut sama sekali tidak bisa memarahi orang lain, baik dalam konteks hubungan kedinasan, kekeluargaan, atau persahabatan biasa. Hanya gaya saya marah yang tidak meledak-ledak, ngomong berdua saja dengan yang saya marahi tanpa diketahui orang lain, membuat banyak rekan saya yang mengira saya tidak bisa marah.

Seperti baru-baru ini ketika saya terlibat diskusi serius dengan seorang teman yang dengan gampang mendeteksi karakter saya sebagai orang yang suka menahan rasa marah. Tanpa bermaksud mengancam, ia melontarkan pendapat, saya harus berhati-hati, lama-lama bisa sakit jantung, kata teman itu.

Sakit jantung? Wah, saya yang tidak punya bekal pengetahuan yang memadai seputar penyakit ini, tentu saja menjadi takut. Saya ajak bercanda saja teman saya itu agar jangan mendoakan saya yang jelek begitu. 

Ia membantah, malah berdoa agar saya selalu sehat, namun sebagai teman baik ia mengingatkan saya agar tidak memelihara sikap menahan perasaan, termasuk rasa marah.

Nah saya langsung menangkap kesalahkaprahannya. Menurut saya, menahan rasa marah yang tidak tersalurkan, adalah satu hal. Sedangkan mengelola rasa marah agar tidak menimbulkan keinginan untuk marah, adalah hal lain lagi yang berbeda.

Lalu tentang sakit jantung, kalau pun nanti saya menyinggungnya, saya tak akan mencari referensi ilmiah terlebih dahulu. Justru dengan apa yang terpikirkan di benak saya yang awam soal medis, mudah-mudahan bisa mewakili apa yang juga dipahami oleh orang banyak tentang sakit jantung, antara lain dalam kaitannya dengan stres yang terus menerus dirasakan seseorang.

Saya mau memberi satu contoh nyata yang sering saya alami saat menjadi kepala divisi akuntansi di sebuah perusahaan milik negara. Salah satu tugas saya adalah menyiapkan laporan keuangan setiap triwulan, yang setelah disetujui direktur utama, akan dipublikasikan di media cetak secara utuh dengan mengunakan slot iklan satu halaman penuh.

Ada lima bagian yang saya pimpin, salah satunya bagian yang menyusun laporan keuangan itu tadi. Bagian ini dipimpin oleh seorang kepala bagian. Tapi ada seorang karyawati di bagian ini yang meskipun secara kepangkatan masih di level staf, tapi memegang data kunci, khususnya laporan keuangan yang harus disesuaikan dengan "selera" direksi. Bagaimana cara menyesuaikannya, database-nya dipegang dia.

Kalau dia, biar gampang sebut saja namanya Sherly, tidak masuk kantor misalnya karena sakit, padahal deadline publikasi laporan keuangan semakin mendesak, akan membuat saya kelabakan. Jadi saya harus berbaik-baik dengan Sherly, jangan sampai ia ngambek.

Masalahnya, bila direksi sudah menelpon saya, bertanya kok laporan keuangan belum ada di meja kerjanya, saya otomatis pergi ke meja Sherly, bahkan terkadang menongkrongi ia bekerja. Padahal Sherly paling tidak senang ditongkrongi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun