Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konflik Kepentingan Ibarat Kentut, Tercium tapi Tak Terlihat

23 April 2020   10:10 Diperbarui: 23 April 2020   10:43 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengunduran diri Staf Khusus Presiden, Aldamas Belva, yang juga Chief Executive Officer (CEO) penyedia aplikasi Ruangguru, memberikan pelajaran berharga. Betapa tidak gampangnya mengelola konflik kepentingan bagi para pejabat pemerintah yang juga terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam urusan bisnis.

Tapi sebetulnya ada banyak konflik kepentingan yang lebih tersamar, bahkan dengan bahasa yang agak vulgar, boleh dibilang ibarat kentut, berbau namun tidak terlihat. 

Ini terjadi bila si pejabat pengambil keputusan tidak mempunyai perusahaan, tidak pula terdaftar sebagai pengelola peusahaan, tapi order dari si pejabat banyak ditujukan pada sebuah perusahaan tertentu saja.

Kenapa begitu? Alasan formalnya karena perusahaan itu yang paling bagus nilainya dibandingkan beberapa perusahaan sejenis lain, dalam memasok berbagai barang yang diperlukan di kantor yang dipimpin si pejabat.

Namun kriteria penilaian seperti itu, anggaplah proses pengambilan keputusannya sudah melewati tender, bahkan memakai aplikasi e-procurement yang katanya lebih obyektif, tetap bisa "diatur".

Sebetulnya konflik kepentingan tidak hanya melanda instansi pemerintah, di lingkup Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga perlu untuk diteliti, siapa tahu tidak berbeda jauh.

Baik di kantor pemerintah, maupun BUMN, bagian yang membidangi logistik adalah salah satu bagian yang rawan dengan konflik kepentingan. Contohnya, untuk biaya percetakan formulir, anggaplah untuk 1.000 lembar, logikanya tidaklah memakan biaya yang besar. 

Tapi bayangkan bila itu terjadi di sebuah BUMN yang punya kantor cabang di semua kota dan kabupaten, dan 1.000 lembar itu hanya untuk kebutuhan satu cabang selama sebulan saja. Hitung sendiri berapa nilai proyeknya selama satu tahun secara nasional.

Itu baru urusan percetakan. Bagaimana kalau pengadaan personal computer, laptop, pembelian atau pemeliharaan kendaraan dinas, pembangunan atau renovasi gedung kantor dan rumah dinas, dan masih banyak lagi urusan belanja perusahaan yang ditangani oleh bagian atau divisi logistik.

Bisa jadi sekarang ini informasi tentang harga barang sudah gampang didapat, sehingga kalaupun mau di-mark up, tidak bisa besar-besar amat. Tapi kalau jumlah yang dibeli sangat banyak, karena untuk kebutuhan semua kantor cabang, bukankah secara total akan signifikan jumlahnya?

Apalagi bila barang yang dibeli bersifat intangible atau tidak kasat mata. Hal ini sangat rawan disulap angkanya jadi berlipat dua atau tiga. Contohnya bila perusahaan membutuhkan perusahaan jasa yang mampu membuat software atau aplikasi yang dirancang secara khusus buat perusahaan yang memesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun