Namun kenyataannya kehadiran pedagang BBM di pinggir jalan adalah hal yang biasa di manapun di negara kita. Tentu ada yang memasok premium kepada para pedagang tersebut yang di Sumbar dilakukan oleh pemilik mobil tua itu.
Seiring dengan menurunnya harga minyak di pasaran internasional, premium yang dulunya disubsidi oleh pemerintah, sekarang mungkin saja sudah tidak lagi disubsidi. Belum didapat informasi yang jelas tentang hal ini.
Tapi persoalan yang dihadapi dalam distribusi premium mirip dengan distribusi gas ukuran 3 kg yang harga per kg-nya jauh lebih murah ketimbang gas berukuran lebih besar, karena disubsidi. Maksudnya akhirnya banyak yang membeli premium dan gas untuk dijual kembali.Â
Hanya saja bila premium dari tangki mobil dipindahkan ke dalam botol untuk dijual eceran, untuk gas dari 4 tabung berukuran 3 kg dipindahkan jadi 1 tabung berukuran 12 kg.
Sebetulnya berkurangnya pasokan premium juga terjadi di DKI Jakarta dan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa. Saya melihat banyak SPBU di Jakarta sudah tidak lagi menyediakan premium.
Namun di sedikit SPBU yang menjual premium tidak terdapat antrean yang terlalu panjang. Artinya konsumen BBM di Jakarta telah banyak yang beralih dari premium ke jenis lain yang sedikit lebih mahal yakni pertalite. Inilah yang belum terlihat di Sumbar.Â
Memang apa yang saya lihat itu terjadi di pada pertengahan Maret lalu, saat belum ada kebijakan meliburkan sekolah di Sumbar untuk mencegah penyebaran virus corona.Â
Bisa saja sekarang antreannya tidak parah. Tapi praktik pembelian premium untuk dijual kembali, harusnya dilarang dan diawasi oleh pihak berwenang.