Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Naik KRL Rasa MRT, Kubur Kenangan Buruk Saat Penumpang Luber ke Atap

15 Februari 2020   08:09 Diperbarui: 15 Februari 2020   17:01 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta rel listrik (KRL) meniggalkan Stasiun Jakarta Kota di Jakarta Barat, Kamis (7/9/2017). (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Lama sekali saya tidak naik kereta rel listrik (KRL). Padahal rumah saya di bilangan Tebet Jakarta Selatan relatif dekat dari stasiun kereta api. 

Bukan apa-apa, saya terlanjur punya gambaran yang kurang nyaman seperti yang dulu sering saya alami. Selama tahun 1998 sampai paruh pertama 1999, saya setiap hari kerja bolak-balik Jakarta-Bogor karena ada program penugasan dari perusahaan tempat saya bekerja.

Saya enggan mencari tempat kos di Bogor, karena bila naik KRL masih sempat berangkat pagi dan sampai lagi di rumah saat maghrib. Jika saya naik bus akan memakan waktu lebih lama 

Waktu itu setiap saya naik KRL, dompet selalu saya masukkan ke dalam tas, lalu saya memegang tas erat-erat di tengah kepungan penumpang yang amat sesak. Soalnya sering terjadi penumpang yang kecopetan.

Walaupun sudah berjubel sampai ada yang duduk di atap kereta, bergelantungan di pintu gerbong atau berdiri di teras penghubung antar gerbong, kelompok pengamen masih sempat-sempatnya mengadakan pertunjukan. Banyak pula pedagang asongan yang menjajakan dagangannya.

Penumpang naik atau turun kereta secara berebutan. Saya punya strategi, satu stasiun sebelum sampai di stasiun tujuan, saya mulai sedikit-sedikit bergeser hingga sudah berada di depan pintu keluar.

Penderitaan terbesar adalah bila turun hujan. Air akan masuk karena pintu tidak ditutup. Sebagian jendela juga tidak bisa ditutup. Kadang-kadang saya tutupi kepala pakai koran agar tidak kena hujan.

Tapi kenangan buruk tersebut sekarang sudah terkubur. Saat ini naik KRL sudah serasa naik MRT saja. Itulah yang saya rasakan Rabu (12/2/2020) lalu.

Awalnya karena saya bersama anak bujang dan anak gadis saya, berencana menonton film "Parasite" di sebuah mal di dekat Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat.

Saya sebenarnya ingin naik taksi saja yang dapat dipesan secara online. Tapi karena pas mau berangkat sudah jam 15.35 sedangkan jadwal pemutaran film jam 16.25, menurut anak saya bila naik taksi bakal telat, karena macet di jalan.

Akhirnya saya ikuti saja saran anak saya yang sudah lumayan sering naik KRL. Dan betul saja, jam 16.10 kami sudah berada di bioskop. Padahal kami harus pindah dari KRL ke MRT di Stasiun Sudirman. Keluar dari Stasiun MRT Bundaran HI pun, kami berjalan kaki sekitar 100 meter.

KRL yang kami naiki dari Stasiun Cawang, singgah dulu di Stasiun Tebet dan Manggarai, baru sampai di Stasiun Sudirman. Sedangkan saat naik MRT, tak ada stasiun yang dilewati karena Bundaran HI hanya satu stasiun dari Sudirman.

Saya sungguh menikmati beberapa perbaikan yang signifikan pada pelayanan KRL sekarang. Ada peta perjalanan kereta api di setiap gerbong yang ditaruh di atas pintu keluar dan gampang terbaca.

Ada pula layar informasi di peron stasiun yang memberitahukan berapa menit lagi kedatangan kereta berikutnya, jam kedatangan, dan tujuan akhirnya. Sebagai contoh, dari Stasiun Cawang ke arah utara, terdapat tiga rute KRL, yakni ke Kota, Muara Angke dan Jatinegara. 

Saya bisa memilih yang ke Angke atau yang ke Jatinegara, karena sama-sama melewati Stasiun Sudirman. Karena yang ke Jatinegara lebih awal datangnya, saya naik yang ini saja.

Selama perjalanan terdengar pengumuman nama stasiun apa yang akan disinggahi. Hal yang juga terdapat pada pelayanan bus Transjakarta. 

Di Stasiun Sudirman sayangnya belum sepenuhnya terhubung antar stasiun KRL dan stasiun MRT. Terpaksa harus keluar dulu ke ruang terbuka yang kalau hujan pasti kehujanan, baru masuk kolong jembatan dan di ujungnya belok kanan bila mau ke stasiun MRT. 

Tentang sistem pembelian tiket KRL, seperti juga MRT, telah sepenuhnya bisa menerima uang elektronik. Tak masalah apakah pakai uang elektronik yang diterbitkan BRI, BNI, BCA, Mandiri, atau Bank DKI.

KRL dulu dan sekarang. Dok. detik.com
KRL dulu dan sekarang. Dok. detik.com
Bila tidak punya uang elektronik, tersedia kartu di loket KRL atau MRT. Kartu ini ada biayanya selain harus diisi salado yang cukup untuk bisa naik kereta ke stasiun tujuan. Kartu bisa dikembalikan di loket stasiun tujuan dan ditukarkan dengan uang biaya pembelian kartu itu tadi.

Tidak begitu berlebihan bila saya mengatakan KRL sekarang sudah rasa MRT. Paling tidak pada standar pelayanannya sudah mirip. Tentu sensasi MRT sebagai barang baru dengan tampilan kereta yang enak dipandang dan stasiunnya pun terkesan megah, lebih unggul ketimbang KRL. 

Lagipula jalur MRT yang berada di bawah tanah atau melayang di atas jalan raya, tidak dipunyai oleh KRL. Tapi tetap perlu diberikan apresiasi bagi pengelola KRL yang telah mencatat kemajuan besar.

Namun pengalaman saya belum tentu bisa menjadi ukuran. Saya kebetulan menjajalnya bukan pada jam yang sibuk seperti saat orang berangkat kerja atau pulang ke rumah sehabis bekerja. 

Menurut teman-teman saya yang rutin naik KRL, soal penuh sesaknya pada jam sibuk, masih tidak terhindarkan. Tapi memang diakui kalau sekarang lebih aman, lebih nyaman dan lebih tepat waktu.

Solusi agar penumpang tidak lagi berdesak-desakan adalah dengan memperbanyak jumlah perjalanan pada jam-jam sibuk. Kalau yang saya lihat kemaren, saya yang pas masuk peron melihat kereta ke arah utara baru saja berangkat, perlu menunggu 10 menit untuk naik kereta berikutnya. 

Maka bila interval waktu tunggu bisa diperpendek menjadi sekitar 5 menit khusus pada pagi dan sore hari, akan semakin nyaman buat penumpang.

Berbicara tentang transportasi publik dalam kota Jakarta dan sekitarnya, berarti sekarang ada banyak moda. Dari KRL, LRT, MRT, hingga Bus Transjakarta, semuanya tergolong baik dan membuat Jakarta tidak terlalu ketinggalan dibandingkan kota-kota besar di luar negeri.

Saya lumayan sering naik Transjakarta yang membuat saya bisa mengubur kenangan saat dulu naik Kopaja dan Metromini versi awal, yang kalau penumpang berdiri harus merunduk, karena langit-langitnya yang rendah.

Satu-satunya moda transportasi dalam kota dari generasi lama yang saya rindukan adalah bus tingkat. Sebetulnya sekarang juga ada, tapi khusus untuk rute destinasi wisata, dengan jumlah kendaraan yang relatif sedikit.

Upaya pemerintah dan pihak penyedia jasa transportasi untuk menambah kuantitas dan kualitas transportasi publik, perlu direspon positif oleh masyarakat. 

Cara mendukungnya adalah dengan beralih dari menggunakan kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat, menjadi penumpang salah satu dari moda transportasi di atas.

Dengan demikian kemacetan di Jakarta akan jauh berkurang dan sekaligus kualitas udara juga lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun