Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Berita Negatif, Risiko Reputasi, dan Hubungan Baik Korporasi dengan Media Massa

8 November 2019   15:02 Diperbarui: 10 November 2019   05:33 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: trueffelpix-https://depositphotos.com/

Korporasi yang dimaksud di sini adalah perusahaan yang berukuran menengah ke atas dan beroperasi secara nasional. Biasanya korporasi ini punya aset triliunan rupiah dan punya jaringan kantor di setiap provinsi, bahkan sampai level kabupaten. 

Ada korporasi yang dimiliki oleh pihak asing, ada yang milik swasta nasional, dan tak sedikit pula berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kebetulan saya baru saja terlibat diskusi dengan seorang pejabat level menengah di sebuah korporasi, tepatnya sebuah BUMN yang bergerak di bidang keuangan. Pelanggannya banyak sekali yang tersebar di ratusan kantornya.

Adapun pejabat yang berbincang-bincang dengan saya tersebut, sebut saja namanya Meri, bertugas di divisi yang menangani komunikasi perusahaan. 

Salah satu tugasnya adalah memantau semua pemberitaan di media massa, baik cetak, elektronik, maupun daring.

Kenapa harus dipantau? Karena ini berkaitan dengan reputasi perusahaan yang citra positifnya harus selalu dipelihara. Di lain pihak, bila ada berita yang bernada negatif tentang perusahaannya, berarti meningkatkan risiko reputasi.

Nah, kebetulan selama dua minggu terakhir ini salah satu kantor cabang perusahaan tersebut yang berada di Indonesia bagian timur, ramai diberitakan media massa, baik media lokal maupun nasional.

Beritanya mengenai sebuah kasus besar yang melibatkan orang dalam di kantor cabang tersebut yang mengambil dana para pelanggannya yang kalau ditotal menyebabkan kerugian hingga puluhan miliar rupiah.

Kerugian pelanggan mungkin gampang diatasi. Klaim pelanggan yang telah diperiksa kebenarannya, akan diganti oleh perusahaan. Artinya kerugian pelanggan beralih jadi kerugian perusahaan. 

Toh kemampuan perusahaan untuk menutupi dana puluhan miliar, sangat memadai. Tak akan mengguncang kinerja perusahaan. Paling-paling hanya sedikit mengurangi keuntungan tahunannya yang untuk tahun ini sudah berjumlah belasan triliun rupiah.

Masalah utamanya bukan pada kerugian finansial itu. Reputasi perusahaan yang terpukul gara-gara gencarnya berita negatif, bisa merusak kepercayaan pelanggan, sehingga mereka berpindah jadi pelanggan perusahaan pesaing. 

Itulah yang paling ditakutkan manajemen perusahaan. Sangat tidak gampang memulihkan kepercayaan masyarakat. Makanya orang seperti Meri harus telaten membaca setiap berita tentang perusahaannya.

Lalu kalau sudah terlanjur ada berita negatif, apa yang dilakukan Meri dan tim yang dipimpinnya? Ia akan membuat press release yang dikirim ke semua media cetak, stasiun televisi, dan media daring yang sering dibaca publik.

Tentu bila memang ada kesalahan dari oknum perusahaan, akan diakui adanya hal tersebut. Namun yang terpenting adalah menjelaskan bahwa perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian pelanggan dan menjelaskan langkah yang ditempuh perusahaan agar kasus serupa tidak terulang.

Meri menceritakan bahwa media arus utama, sebetulnya tidak gencar memberitakan kasus tersebut. Selama dua minggu itu, rata-rata setiap media arus utama hanya memberitakan dua kali saja, itupun pada halaman dan kolom yang tidak strategis. 

Berita pertama muncul saat kasus pertama kali diketahui wartawannya dengan tanggapan pihak kantor cabang perusahaan. Sedangkan berita kedua memasukkan unsur press release dari kantor pusat tempat Meri bekerja.

Media arus utama tahu tentang prinsip dasar jurnalistik yang tidak boleh berat sebelah atau memihak dalam memberitakan sebuah kasus. 

Cover both side, demikian istilahnya, yang berarti baik pihak pelanggan yang jadi korban maupun pihak perusahaan sama-sama diliput.

Menurut Meri, yang sulit adalah menghadapi media daring yang relatif tidak terkenal, namun jumlahnya banyak sekali. Media seperti ini ada yang seperti sengaja memojokkan perusahaan yang sedang ditimpa kasus, dengan memberitakan secara berulang-ulang.

Memang media tersebut tidak terkenal. Namun ada saja yang mengunggahnya di media sosial, lalu beredar dengan cepat secara berlipat ganda. Para pengguna media sosial jarang yang kritis, mereka langsung percaya saja. 

Dulu, sebelum ada media daring, pola pemberitaan seperti itu banyak dipakai oleh koran yang kredibilitasnya rendah dan jarang dibaca masyarakat. Untung karena belum ada media sosial, daya tularnya tidak kuat.

Namun demikian, ada wartawan abal-abal yang bertujuan memeras perusahaan. Mereka datang ke kantor, mau bertemu pimpinan cabang dengan alasan untuk klarifikasi, tapi sebetulnya ingin dapat amplop sebagai uang tutup mulut.

Tapi taktik menutup mulut pakai amplop, apalagi bagi sebuah BUMN, sekarang tidak mungkin lagi dilakukan, tidak sesuai dengan prinsip GCG (Good Corporate Governance).

Dok.romelteamedia.com
Dok.romelteamedia.com
Sekarang setiap pengeluaran harus jelas pertanggungjawabannya. Maka cara yang dilakukan perusahaan dalam membina hubungan baik dengan pihak media massa, adakalanya mengajak wartawan meliput beberapa cabangnya di berbagai pelosok tanah air, memberikan workshop bagi jurnalis yang ingin menambah pengetahuan di bidang ekonomi dan bisnis, dan sebagainya.

Tentu sekadar menjamu para wartawan yang diundang saat manajemen perusahaan mengadakan jumpa pers, biasanya terkait pemaparan kinerja triwulanan, masih terhitung lumrah.

Demikian pula pemberian cenderamata yang relatif murah, biasanya barang yang lazim sebagai alat promosi perusahaan, seperti payung, t-shirt, pulpen, buku agenda, kalender, dan sebagainya. 

Ini termasuk lazim, bukan lagi memberi uang transportasi bagi wartawan yang datang.

Cara lain yang menurut Meri cukup ampuh untuk memelihara hubungan baik dengan pihak media, adalah beriklan di media yang bersangkutan. Tapi tentu ini harus didukung oleh kalkulasi kelayakan, kenapa memilih media tertentu sebagai tempat memasang iklan.

Pada penutup diskusi saya dengan Meri, saya hanya ingin mengingatkan, ada yang tak kalah penting ketimbang memelihara hubungan baik dengan media massa.

Maksud saya, pada akhirnya, inti masalah bukan pada berita negatif, namun bagaimana dengan kualitas produk dan kualitas pelayanan yang diberikan sebuah perusahaan. 

Selagi pelayanan atau operasionalnya tidak memuaskan, sebaik apapun hubungannya dengan media massa, tetap akan muncul berita negatif tanpa bisa ditutup-tutupi. 

Jadi, jika muncul sebuah kasus, cara perusahaan mendekati media adalah satu hal yang perlu dilakukan. Tapi itu bukan obat yang menyembuhkan penyakitnya. Perbaikan kualitas operasional dan pelayanan yang memuaskan pelangganlah yang jadi jawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun