Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Makin Banyak Pejabat Kena OTT KPK, Keberhasilan atau Kegagalan?

17 Oktober 2019   12:26 Diperbarui: 17 Oktober 2019   12:38 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
OTT KPK terhadap Wali Kota Medan (kompas.com)

Tulisan ini lahir karena tergelitik saat mengikuti berita Kompas TV, Kamis pagi (17/10/2019). Topik yang diangkat adalah semakin banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK. Kasus terbaru adalah yang menimpa Wali Kota Medan yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, Rabu (16/10/2019) lalu.

Wali Kota Medan Dzulmi Eldin disebutkan sebagai kepala daerah yang ke 122 yang ditangkap KPK atau yang ke 9 sepanjang tahun ini. Ironisnya, Dzulmi sudah berkali-kali bertemu KPK dalam rangka pencegahan korupsi.

Atas hal tersebut muncul penilaian yang bertolak belakang dari masyarakat. Di satu sisi, semakin banyak pejabat yang terkena OTT KPK dinilai sebagai bukti semakin berhasilnya upaya pemberantasan korupsi yang dimotori oleh KPK.

Tapi di pihak lain, ada pula penilaian bahwa KPK baru bisa dikatakan berhasil bila sudah tidak ada lagi pejabat yang ditangkap, sehingga akan lebih kondusif untuk para pelaku ekonomi untuk berinvestasi.

Kalau dicermati, sebetulnya kedua pendapat tersebut ada benarnya dan sekaligus juga ada salahnya. Tergantung dari sisi mana dilihat dan apa asumsi yang mendasarinya.

Tak ada yang meragukan, bila KPK makin banyak menangkap pejabat, dari kacamata KPK pasti menunjukkan keberhasilan. Bahwa ke depan KPK diharapkan akan makin berperan untuk melakukan edukasi dan sosialisasi sebagai upaya pencegahan, bukan berarti KPK harus membiarkan saja bila masih banyak pejabat yang melakukan korupsi.

Tapi memang dilihat dari kacamata yang lebih komprehensif, semakin banyak pejabat yang tertangkap membuktikan kegagalan dalam upaya membentuk budaya birokrasi yang bersih. Jangan-jangan korupsi memang sudah membudaya di negara kita.

Makanya bila nanti tidak ada lagi pejabat yang tertangkap oleh KPK, sah-sah saja kalau disebut sebagai ukuran keberhasilan. Tapi ini berlaku kalau KPK tetap diperkenankan menggunakan berbagai instrumen untuk mendeteksi perilaku korupsi, termasuk dengan cara penyadapan.

Namun biasanya masyarakat punya parameter sendiri tentang "kebersihan" pejabat, terlepas dari apakah terendus oleh KPK atau tidak. Bila pelayanan publik makin gampang tanpa ada pungli, pun demikian untuk berbagai perizinan bagi dunia usaha, itu pertanda penyakit korupsi mulai menunjukkan gejala kesembuhan.

Nah, bila akhirnya KPK telah berupaya secara maksimal mencari jejak para koruptor namun memang tidak ditemukan, okelah kalau mau diklaim pejabat kita sudah tobat. 

Berbeda ceritanya bila KPK sendiri diperlemah, atau personil KPK tidak lagi bersemangat mengejar koruptor, padahal masyarakat merasakan tindakan korupsi masih merajalela. Masih ada budaya setor dari bawahan ke atasan. Masih ada setor dari pemenang tender suatu proyek ke pejabat di instansi yang punya proyek. Masih ada pemasok barang ke instansi pemerintah yang diminta menandatangani kwitansi kosong atau yang telah digelembungkan jumlahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun