Museum kekinian? Bukankah semua museum berkaitan dengan koleksi barang-barang kuno? Lalu faktor kekiniannya di mana?
Ya, barangnya boleh kuno, tapi cara menyajikannya harus mengikuti perkembangan zaman. Bisa pakai teknologi audio visual yang canggih, bisa pakai tata cahaya yang menawan, dan sebagainya.
Ada pula kafe, pusat jajanan cenderamata, dan banyak spot yang bagus untuk berfoto yang layak dipampangkan di media sosial. Itulah ciri museum masa kini yang lebih dilihat sebagai objek wisata.
Tapi melalui tulisan di atas saya memberi contoh Musium Angkut di Batu, Malang, Jawa Timur, sebagai contoh museum yang berhasil menjadi objek wisata yang laris. Meskipun dikenakan tarif yang relatif mahal, pengunjungnya tetap melimpah.
De Tjolomadoe, itulah nama museum yang saya maksud. Saya beruntung berkesempatan mengunjungi museum tersebut yang terletak di pinggir kota Solo, namun secara administrasi pemerintahan masuk Kabupaten Karanganyar, pada hari Sabtu (12/10/2019) kemarin.
Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Museum Nasional, sehingga museum yang bertarif Rp 25.000 per orang ini, didiskon sebesar 20 persen. Jadi, saya cukup membayar Rp 20.000 saja.
Karena saya datang bersama 10 orang teman lainnya, tentu penghematannya lumayan terasa. Kami semua adalah rekan kerja di divisi akuntansi dari kantor pusat sebuah BUMN di Jakarta. Sebagian sudah memasuki masa pensiun, sebagian lagi mendekati masa pensiun.
Hebatnya, Museum De Tjolomadoe adalah hasil transformasi yang cerdas, Â dari sebuah pabrik gula yang berdiri tahun 1861 dan terakhir jadi milik PT Perkebunan Nusantara, namun menjadi aset terbengkalai karena tidak lagi beroperasi sejak tahun 1998 gara-gara dihantam badai krisis moneter, alih fungsi lahan dan minimnya suplai tebu.
Aset terbengkalai tersebut berupa lahan yang luas, beberapa gedung peninggalan Belanda yang juga luas, mesin-mesin dan berbagai tabung besar buat penguapan, dan alat-alat pabrik gula lainnya.
Biasanya aset terbengkalai milik negara akan berakhir dengan cara dilelang, sehingga jatuh ke tangan pemodal swasta. Kemungkinan besar investor baru akan meruntuhkan gedung bersejarah itu, untuk dibangun gedung baru berupa hotel, mal, apartemen dan bisnis properti lainnya.
Nama museum itu sendiri diambil dari nama pabrik gula saat didirikan dulu oleh Mangkunegara IV yakni Pabrik Gula Colomadu, yang dalam ejaan lama ditulis Tjolomadoe. Nama ini berarti "gunung madu" sebagai simbol harapan agar mendapat panen yang berlimpah.
Museum ini merupakan hasil renovasi tanpa mengubah arsitektur awalnya yang dirancang arsitek Belanda, R. Kampf. Ciri khas gedung peninggalan Belanda dengan langit-langit yang tinggi membuat pemandangan dalam gedung terlihat lepas.
Ada kafe yang besar di bagian belakang gedung. Ketika saya melongok, ternyata lagi ada live music. Sayangnya kafe relatif sepi, dugaan saya karena harga makanannya mahal.
Ada suatu ruangan yang dipenuhi foto-foto pahlawan nasional dan kutipan kata-kata yang memotivasi dari sang pahlawan tersebut. Ini sebetulnya sangat bernilai kalau saja para pengunjung mau membaca dan merenungkannya.
Dari foto-foto yang dipajang di salah satu dinding, rupanya museum ini telah beberapa kali menjadi tempat konser musik, antara lain dari artis asing David Foster, dan grup band papan atas dalam negeri, Noah.
Mungkin di hari-hari tertentu, di halaman museum perlu diselenggarakan bazar makanan dan barang murah. Agar pengunjung yang berkantong tipis juga bisa berbelanja.
Museum De Tjolomadoe dilengkapi dengan fasilitas toilet dan musala yang terlihat sangat memadai, sekelas hotel berbintang atau mal kelas atas.
Jadi kalau anda lagi berada di Solo, sangat dianjurkan untuk mengunjungi De Tjolomadoe. Bahkan kalau datang pada malam hari, permainan cahayanya lebih menarik lagi.