Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Maulid Nabi, Kesalehan Sosial, dan Pamer Kesalehan di Media Sosial

9 November 2019   00:07 Diperbarui: 29 Oktober 2020   07:07 3192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: steemit.com/life/@mahyailyas

Mungkin karena hari ini, Sabtu 9 November 2019, adalah hari libur bagi daerah yang menetapkan pola lima hari kerja seperti di DKI Jakarta, tak banyak yang menyadari bahwa hari ini adalah hari besar bagi umat Islam. 

Iseng-iseng coba lihat kalender 2019. Hari ini adalah tanggal merah, bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang pada kalender hijriah diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal, yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad.

Artikel ini tidak bermaksud membahas sejarah kehidupan Rasulullah tersebut. Tapi ada satu hal yang ingin ditonjolkan tulisan ini, betapa nabi besar umat Muslim itu tidak hanya mengajarkan tata cara beribadah yang benar, tapi juga tata cara dalam kehidupan sosial, termasuk dengan kalangan non-muslim, sebagai perwujudan kesalehan sosial.

Jadi, agaknya keliru bila kita menafsirkan kesalehan hanya berkaitan dengan aktivitas ibadah seseorang. Artinya, semakin sering seseorang beribadah, maka semakin salehah ia.

Dok. islami.co
Dok. islami.co
Rajin beribadah tentu hal yang positif. Tapi itu saja tidak cukup kalau tidak dibarengi dengan kesalehan sosial. Nabi Muhammad sendiri, dalam kisah yang sering diceramahkan para ustad, setiap hari menyuapkan makanan ke mulut seorang pengemis Yahudi buta dan tua. Pengemis itu selalu mangkal di salah satu sudut di pintu kota Madinah.

Padahal si pengemis selalu menghina Nabi Muhammad, dengan berkata pada orang yang lewat di depannya agar tidak memercayai Muhammad yang disebutnya sebagai orang gila, pembohong dan tukang sihir.

Kelak, setelah Nabi wafat, betapa menyesalnya si pengemis, begitu diberi tahu Khalifah Abu Bakar Shiddiq yang meneruskan tradisi Nabi menyuapi pengemis itu, bahwa Nabi Muhammad lah yang selama ini menyuapinya.

Karena merasa cara Abu Bakar tidak sama dengan cara Nabi menyuapinya, si pengemis bertanya siapa sesungguhnya yang selama ini sudah sangat baik hati. 

Makanya Abu Bakar menjelaskan tentang tindakan Nabi Muhammad yang sangat mulia. Tidak marah meskipun dihina, malah membalas dengan kebaikan tanpa sepengetahuan yang menghina.

Coba bayangkan kalau itu terjadi saat ini, betapa seringnya kita mendengar laporan ke pihak kepolisian dari seseorang yang merasa terhina, tercemar nama baiknya, atau merasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

Apalagi kalau pihak yang berperkara berbeda agama, masalahnya jadi makin rumit, karena bisa berkembang jadi penistaan agama, ujaran kebencian atau hal lain yang berbau SARA.

Soal saling melaporkan ke polisi itu, biasanya bukan gara-gara ucapan secara langsung, namun melalui tulisan, foto, video, atau gambar yang di-posting di media sosial.

Jelaslah bahwa makin langka menemukan orang yang punya kesalehan sosial di media sosial. Ironisnya banyak yang unjuk kesalehan dalam ritual beribadah di media sosial.

Artinya, sama-sama menggunakan media sosial, satu orang yang sama bisa mempertontonkan betapa salehnya ia. Tapi ia lupa kalau juga mempertontonkan ketidaksalehan sosialnya bila gampang menyalahkan orang lain, bahkan termasuk mengkafirkan orang lain.

Hanya gara-gara berbeda ustad, berbeda kelompok pengajian, berbeda cara berpakaian, berbeda pilihan politik, antar saudara atau antar tetangga bisa menyebabkan hubungan yang kurang harmonis.

Bukankah itu pertanda kesalehan sosial yang belum terbangun? Padahal secara ritual, banyak yang bangun tengah malam. Sambil siap-siap untuk salat tahajud, tak lupa mengirim pesan ke teman-teman satu grup media sosial, berisi ajakan mari salat tahajud.

Apakah ajakan itu bernilai ibadah karena mengandung niat berdakwah, mengajak orang lain berbuat baik? Atau justru mengurangi nilai ibadah karena terkandung niat untuk pamer atau untuk mendulang pujian? Tak ada yang tahu niat yang terpatri di hati kecil seseorang, kecuali orang itu sendiri dan Allah. 

Tapi yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah dengan memanfaatkan momentum peringatan maulid Nabi Muhammad, mari kita teladani apa yang dicontohkan oleh Rasulullah secara utuh. 

Keutuhan dimaksud adalah mencakup aspek individu yang berdimensi vertikal, hubungan seseorang dengan Sang Pencipta. Kesalehan beribadah adalah perwujudannya. 

Aspek berikutnya adalah hubungan baik sesama manusia, berdimensi horizontal, yang perwujudannya berupa kesalehan sosial. Agar komplit, tambah lagi dengan hubungan manusia dengan alam, seperti menjaga lingkungan yang akan diwariskan bagi anak cucu.

Nah, dikaitkan dengan perubahan gaya hidup saat ini, di mana eksistensi seseorang di media sosial seperti sebuah keharusan, maka perlu disikapi dengan bijak.

Tak perlu setiap kali beribadah harus diceritakan di media sosial karena takut tergelincir dengan perilaku riya yang tidak disukai Allah.

Sedangkan untuk mendukung kesalehan sosial, sangat perlu disiplin diri untuk tidak terjerumus pada upaya memecah belah bangsa, tidak saling menghujat atau saling mengumbar kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun