Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Anak Perusahaan dan Rekayasa Keuangan, yang Tumbang dan yang Berkembang

16 Oktober 2019   13:34 Diperbarui: 17 Oktober 2019   05:02 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada pula bank yang mendirikan anak perusahaan untuk menampung penunggak kreditnya. Seperti diketahui, yang paling ditakutkan oleh manajemen bank adalah tingkat kredit macet yang tinggi.

Namun cara "menjual" kredit macet ke anak perusahaan sendiri, agak rawan disalahtafsirkan sebagai rekayasa keuangan dalam rangka menyembunyikan kerugian.

Berbicara tentang modus rekayasa keuangan dengan memanfaatkan anak perusahaan, yang paling sering dijadikan referensi adalah kasus yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2001 dengan bangkrutnya perusahaan Enron.

Kasus Enron ringkasnya adalah melakukan mark up atas pendapatannya dan menyembunyikan utangnya dengan membentuk perusahaan khusus berupa special purpose entity yang laporannya tidak dikonsolidasikan dengan Enron sebagai induk.  

Rekayasa akuntansi yang canggih tersebut dibantu oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang mengauditnya, Arthur Andersen. Setelah kejadian itu Andersen tidak lagi dibolehkan otoritas setempat untuk beroperasi.

Kemudian asosiasi akuntan yang diakui secara internasional memperketat aturan tentang kewajiban membuat laporan keuangan yang harus dikonsolidasikan dalam sebuah grup konglomerasi.

Kewajiban mengkonsolidasikan laporan keuangan tersebut juga diadopsi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berlaku untuk semua konglomerasi keuangan di Indonesia.

OJK tentu saja tidak ingin kecolongan. Dulu, waktu pengawasan bank masih di tangan Bank Indonesia, pernah terjadi kebangkrutan Bank Summa tahun 1992.

Bank yang dimiliki Edward Soeryadjaya itu akhirnya memakan korban bapaknya sendiri, William Soeryadjaya. William yang merupakan pendiri perusahaan Astra, harus melepaskan sahamnya di Astra demi menyelamatkan anaknya yang akhirnya tetap tidak tertolong.

Maka kalau sekarang Astra makin berkembang, keluarga Soeryadjaya hanya mengenang sebagai nostalgia semata. Astra sendiri tetap kinclong karena dikelola oleh para profesional, terlepas dari siapa pun pemegang sahamnya.

Kisah tragis lepasnya Astra dari keluarga Soeryadjaya, hampir terulang pada keluarga Liem Soei Liong yang mendirikan kerajaan bisnis Salim Group.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun