Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Cegah Pernikahan Dini, DPR agar Sahkan Usia Minimal Perkawinan 19 Tahun

14 September 2019   10:10 Diperbarui: 14 September 2019   14:11 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penikahan dini| Sumber: UNICEF via Kompas.com

Revisi UU KPK yang tengah bergulir telah menimbulkan kehebohan karena banyak anggota masyarakat yang merasa hal tersebut akan memperlemah KPK. Akibatnya DPR sebagai pihak yang berinisiatif merevisi UU itu, di mata publik makin turun citranya.

Demikian pula dengan hasil seleksi calon pimpinan KPK yang baru saja usai, hasilnya diluar ekspektasi masyarakat. DPR ternyata memilih calon yang dari awal sudah banyak menuai kontroversi di media massa.

Tapi tentu bukan berarti kita harus mengabaikan bila DPR mengeluarkan keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat. Begitulah, tanpa banyak publikasi, DPR telah memulai tahapan dalam merevisi aturan hukum tentang usia minimal seorang wanita untuk dibolehkan menikah.

Tadinya, perkawinan sepasang calon pengantin, baru bisa dilakukan bila sang wanita telah berusia 16 tahun dan sang pria berusia minimal 19 tahun.

Dalam aturan yang baru, usia minimal wanita untuk menikah dinaikkan menjadi 19 tahun, sama dengan usia minimal untuk pria. Usia minimal pria tidak mengalami perubahan karena selama ini yang paling banyak terlibat pernikahan dini adalah yang wanita.

Hanya saja persetujuan DPR tersebut baru pada tahap pengambilan keputusan Panitia Kerja (Panja) DPR-RI Revisi UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bersama pihak pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Kamis (12/9/2019) kemarin. 

Masih perlu tahapan berikutnya yakni keputusan dalam sidang paripurna DPR. Mengingat masa bakti DPR periode 2014-2019 tinggal menghitung hari, wajar bila diharapkan DPR bisa mengagendakan hal ini secepatnya sebagai kado terindah bagi perlindungan anak-anak Indonesia di masa depan. 

dok. beritasatu.com
dok. beritasatu.com
Tak perlu lagi kita perdebatkan bahwa pernikahan dini lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Makanya produk DPR kali ini, bila akhirnya disahkan sidang paripurna, sangat pantas mendapatkan apresiasi. 

Bahkan akan menjadi kenangan manis untuk mengimbangi berita hiruk-pikuk revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang baru.

Hanya saja begitu revisi UU Perkawinan disahkan bukan berarti tugas sudah selesai. Kebijakan yang baik perlu dikawal agar mulus pula implementasinya. Makanya perlu diantisipasi dampak yang tidak diharapkan seperti berikut ini.

Pertama, sangat mungkin kebijakan tersebut akan disalahpahami oleh para orangtua yang hidupnya pas-pasan. Salah satu motif orangtua menikahkan anak gadisnya cepat-cepat adalah agar bebannya secara ekonomi akan berkurang karena dialihkan ke menantu lelakinya. 

Padahal bila si anak gadis tetap bersekolah, tidak buru-buru menikah di usia 16 tahun yang setara lulusan SMP, namun melanjutkan paling tidak sampai lulus SMA atau sederajat, pasti menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan peningkatan mutu sumber daya manusia.

Tapi problem ekonomi, mengisi perut yang tak berisi, suatu hal yang tak bisa ditunda-tunda. Makanya program bantuan tunai pemerintah untuk masyarakat miskin agar terus dilakukan dengan tepat sasaran.

Kedua, sangat perlu melakukan langkah persuasif kepada pemimpin agama di tingkat desa yang biasanya menjadi rujukan pemikiran masyarakat desa. 

Betul bahwa secara tekstual dalam aturan agama, seorang anak perempuan yang sudah akil baligh yang ditandai dengan sudah mengalami menstruasi, sudah boleh dinikahkan.

Bahkan pada rapat Panja DPR dan Kementerian PPA di atas, yang awalnya keberatan juga wakil dari partai berbasis agama, yakni PKS dan PPP. Apalagi kalau pernikahan dini dikaitkan dengan upaya agar terhindar dari perbuatan zina, sepertinya menjadi justifikasi untuk melegalkan pernikahan dini.

Maka sosialisasi dari pihak pemerintah harus terus menerus dilakukan dengan pola dialogis. Agar pemerintah tidak dianggap memaksakan kehendak, sosialisasi tersebut bisa pula dilakukan dengan inisiatif dari tokoh masyarakat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.

Ketiga, bila problem ekonomi masih menjerat banyak warga miskin di pedesaan, maka sambil menunggu usia anak gadis mencapai 19 tahun, barangkali akan diminta orangtuanya untuk mencari pekerjaan di sektor informal, termasuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Tentu saja kalau hal itu terjadi, ibarat lepas dari mulut singa, masuk mulut harimau. Lepas dari pernikahan dini, tapi malah jadi korban eksploitasi anak. Akhirnya tujuan agar si anak mendapat bekal pendidikan formal yang mencukupi tidak tercapai. 

Solusinya mirip dengan catatan pertama di atas, yakni berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk dengan pemberian bantuan tunai langsung, harus berjalan dengan efektif dan tidak diberikan ke alamat yang salah.

Keempat, perlu dilakukan penegakan hukum secara tegas terhadap tindakan pemalsuan umur yang mungkin akan dilakukan orang tua yang kebelet menikahkan anaknya yang belum cukup umur.

Demikian pula praktik nikah siri, perlu ditekan serendah mungkin, antara lain melalui sosialisasi secara terus menerus seperti ditulis pada catatan butir kedua di atas.

Memang pada akhirnya, sebagus apapun sebuah aturan, yang lebih menentukan adalah kesadaran masyarakat itu sendiri. Namun, paling tidak dengan ditetapkannya ketentuan baru, akan menjadi angin segar bagi masa depan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun