Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berburu Promo Tetap Perlu Akal Sehat

20 Agustus 2019   21:37 Diperbarui: 20 Agustus 2019   21:46 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertubi-tubi berbagai aplikasi di hape saya memberikan notifikasi adanya program promosi (sekarang sering disingkat sebagai promo). Seperti biasanya, jarang pesan seperti itu saya baca dengan serius.

Soalnya, saya bukan tipe orang yang berbelanja karena ada promo. Tapi sebaliknya, bila saya membutuhkan sesuatu, baru saya mencari info apakah ada promo untuk barang atau jasa yang mau saya beli.

Andai pun tidak ada promo, bila saya sudah berniat membeli sesuatu, mau tak mau tetap saja saya beli. Karena biasanya saat itu barang tersebut betul-betul dibutuhkan dan saya sudah menyiapkan anggaran dengan harga normal. Tentu bila ada promo akan ada penghematan anggaran bagi saya.

Mungkin karena faktor usia, bahwa saya tidak lagi anak muda yang perlu bergaya, yang artinya saya tidak perlu mengikuti gaya hidup yang lagi ngetrend. 

Namun saya tidak begitu yakin apa benar faktor usia yang membuat saya seperti itu pola konsumsinya. Sebagai perbandingan, ada seorang saudara sepupu saya yang umurnya hanya beda tipis dengan saya, namun perilakunya berbeda jauh. Ya, kami sama-sama berusia kepala lima. Tidak muda, tapi belum ikhlas disebut tua.

Ia hampir setiap hari mencari info promo apa saja yang ada. Ia boleh dikatakan punya semua aplikasi pembayaran non tunai seperti Gopay, Ovo, Dana, Linkaja, dan sebagainya. Kartu debit dan kartu kreditnya pun lumayan banyak. 

Nah, dari berbagai info promo tersebut, baru ia memutuskan akan berbelanja di mana, membeli barang atau jasa apa, serta membayar dengan cara bagaimana. Tentu saja ia memilih program promo yang paling besar diskonnya.

Bahkan sekadar mau makan siang atau malam saja, ia menghabiskan waktu sekitar setengah jam hanya buat mencari informasi tentang restoran mana atau aplikasi sistem pembayaran apa yang lagi promo.

Tapi saudara sepupu saya itu memang seorang wanita. Apakah karena faktor gender yang membuat pola konsumsi kami berbeda? Tampaknya tidak juga. Masalahnya istri saya tidak beda jauh dengan saya.

Atau karena faktor etnis? Saya sering mendengar cerita orang lain bahwa ada etnis tertentu yang cenderung pelit, tapi ada juga etnis tertentu yang suka berfoya-foya. Biar kantong kempes namun yang penting bergaya.

Terhadap hal ini saya berani menegaskan bahwa faktor etnis bukanlah menjadi pembeda, karena saya dan saudara sepupu di atas berasal dari etnis yang sama.

Kalau begitu mungkinkah karena faktor pendidikan? Sekali lagi, pendidikan formal terakhir kami juga sama levelnya. Demikian pula penghasilan bulanan kami, masih dalam range yang sama.

Nah, meskipun saya tidak tahu pembenarannya secara ilmiah, kuat dugaan saya, faktor karakter pribadi lah yang menjadi faktor pembeda antara saya dengan saudara sepupu saya.

Dari kecil ia sudah terlihat cenderung extrovert, sementara saya lebih introvert. Ia suka menjadi pusat perhatian, sementara saya senang menjalankan peran di belakang layar. Terhadap hal ini tentu para psikolog yang lebih kompeten untuk menjelaskan.

Dugaan saya bisa saja salah. Tapi saya yakin bahwa bagi siapapun, sebaiknya tetap menggunakan akal sehat dalam menghadapi "serangan" promo yang demikian gencar saat ini.

Tentu bohong kalau saya berkata sama sekali tidak terpengaruh dengan promo. Untuk barang harian, saya dan istri terbilang sering membeli barang promo dengan jumlah lebih banyak. Hitung-hitung, kebutuhan bulan depan sudah saya rapel duluan.

Sedangkan untuk barang yang saya tahu akan sangat jarang terpakai, saya cenderung mengabaikan program promo. Inilah yang saya maksud salah satu ciri berbelanja dengan akal sehat.

Jadi, untuk produk fashion dan perangkat elektronik, saya akan memanfaatkan promo ketika memang lagi butuh barangnya. Selagi barang yang sama yang saya sudah punya masih layak pakai, saya belum berniat untuk mengganti.

Kalau dugaan saya betul bahwa faktor karakter menjadi penentu pola konsumsi seseorang, saya juga yakin, meski sulit, karakter tetap bisa diubah. Tentu dengan kemauan yang besar dan dilakukan secara perlahan-lahan. Lama-lama akan menjadi kebiasaan baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun