Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Bangga Jadi Lulusan Akuntansi kalau Belum Bisa Hitung Aset Unicorn

10 September 2019   08:09 Diperbarui: 11 September 2019   18:56 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akuntan jadul (numerico,com)

Setelah saya tidak lagi bekerja secara full time di sebuah perusahaan jasa keuangan, satu hari dalam seminggu saya punya kegiatan sebagai pengajar tidak tetap di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi swasta di Jakarta Selatan.

Karena latar belakang pendidikan saya dan juga pengalaman selama bekerja di perusahaan banyak berkaitan dengan bidang akuntansi, maka saya diminta mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan itu. 

Awalnya saya memegang mata kuliah Pengantar Akuntansi yang wajib diambil semua mahasiswa Fakultas Ekonomi di semester I dan II. Sekarang dipercaya menyampaikan mata kuliah Akuntansi Lanjutan yang diambil mahasiswa jurusan Akuntansi semester V dan VI.

Karena mahasiswanya sudah punya pemahaman akuntansi dari semester-semester sebelumnya, maka sengaja saya memberikan gambaran yang terjadi di dunia nyata, agar kelak mereka tidak kaget saat sudah bekerja sebagai akuntan.

Sebetulnya saya hanya bercerita secara bebas saja, sebahagian besar pengalaman saya sendiri ditambah dengan berbagai referensi yang saya baca, khususnya topik yang hangat dibicarakan publik namun ada kaitan dengan ilmu akuntansi.

Pertama, saya ingin menggugah semua mahasiswa untuk tidak memakai kacamata kuda dan merasa disiplin ilmunya yang paling penting dan tidak mencoba memahami disiplin ilmu lain. Ini berkaitan dengan anggapan bahwa mahasiswa jurusan akuntansi merasa lebih bergengsi ketimbang jurusan lain di fakultas ekonomi.

Memang semua perusahaan pasti butuh para akuntan, makanya lamanya lulusan S-1 Akuntansi menganggur setelah lulus, relatif pendek ketimbang mahasiswa disiplin ilmu lain.

Namun setelah masuk ke dunia kerja, justru karir alumni akuntansi yang kurang memahami ilmu lain seperti teknologi informasi, pemasaran, komunikasi perusahaan, akan kalah bersaing dengan alumni disiplin ilmu lain yang memahami akuntansi. Untuk belajar akuntansi tidak harus kuliah, sambil bekerja pun bisa dilakukan.

Makanya jangan heran melihat figur-figur yang sekarang menjadi anggota direksi di banyak perusahaan kelas menengah ke atas, termasuk juga di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tidak begitu banyak yang latar belakang pendidikannya akuntansi. Tapi pasti para pejabat tinggi itu memahami akuntansi, kalau tidak, tidak mungkin bisa menduduki jabatan tersebut.

Kedua, ilmu akuntansi betapa pun penuh dengan angka-angka, tetap bagian dari ilmu sosial, bukan ilmu eksakta seperti matematika. Soalnya angka-angka berupa laporan keuangan perusahaan sangat diwarnai oleh estimasi, asumsi, judgement, dan hal-hal lain yang di mata pihak lain bisa diragukan objektivitasnya.

Bahkan laporan keuangan yang sudah diaudit akuntan publik pun (akuntan yang bukan pihak internal perusahaan, tapi pihak independen yang diminta memeriksa secara khusus), juga tidak bebas dari bias.

Makanya soal etika profesi harus dipegang oleh para akuntan. Jangan terjadi seperti kasus di Garuda Indonesia, perusahaan yang merugi bisa "disulap" jadi laba dan celakanya disahkan oleh akuntan publiknya. Untung saja pihak-pihak yang berwenang meminta Garuda merevisi kembali laporan keuangannya.

Ketiga, nah ini yang sangat perlu diwaspadai, para akuntan harus selalu mengikuti perkembangan dunia usaha dan mencari solusi pada aspek akuntansinya. Sungguh saya sangat terperangah, ketika dalam sebuah tulisannya yang beredar di media sosial, Rhenald Kasali, seorang guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyebut bahwa sudah terlihat tanda-tanda the end of accounting.

Buktinya, kata Rhenald, para akuntan masih berdebat tentang bagaimana cara menilai aset perusahaan start up yang sekarang sudah berkembang demikian pesat dan tergolong unicorn. Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak, adalah unicorn asal Indonesia yang sering diangkat sebagai topik bahasan oleh Presiden Jokowi dalam berbagai pidato beliau.

Para akuntan masih bingung, bagaimana bisa investor asing berani menyuntikkan modalnya sejumlah triliunan rupiah ke unicorn di atas. Masalahnya, secara akuntansi yang berlaku saat ini, aset perusahaan-perusahaan tersebut tidaklah luar biasa, karena perannya lebih banyak sebagai perantara.

Ambil contoh Gojek. Yang punya motor atau mobil bukan Gojeknya, jelas jutaan kendaraan yang beroperasi dengan aplikasinya, tidak bisa dihitung sebagai aset perusahaan. 

Ya, nilai aset unicorn secara fisik agaknya tidak luar biasa. Namun yang belum mampu dihitung oleh para akuntan adalah network effect value-nya. Puluhan juta, bahkan karena telah beroperasi juga di luar negeri, mungkin sudah ratusan juta pelanggan Gojek yang terhubung ke aplikasinya, itu yang menjadi asetnya yang sangat berharga. 

Betulkah akuntan sudah kehilangan akal sehingga profesi yang dulu dihormati ini terancam akan tidak bermanfaat lagi? Saya biarkan para mahasiswa melongo, karena jujur saya pun belum tahu jawabannya. Tapi saya tetap meminta mereka bersemangat dalam belajar. Ilmu apapun tak kan pernah sia-sia.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun