Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Strategi Bisnis Swalayan

3 Juli 2019   08:45 Diperbarui: 3 Juli 2019   14:41 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Giant Cinere Mall, Jawa Barat saat diskon besar-besaran digelar, Jumat (27/6/2019).(KOMPAS.com/ Walda Marison)

Penutupan beberapa gerai Giant Supermarket bisa ditafsirkan bahwa betapa rapuhnya pertahanan salah satu kelompok usaha yang dulunya menguasai penjualan barang harian menghadapi gempuran perdagangan secara online. Sebelumnya Matahari Departement Store yang bergerak di bidang retail juga telah menutup beberapa gerainya.

Tapi sebetulnya bukan karena soal perkembangan teknologi saja yang menyebabkan kalang kabutnya pebisnis pasar swalayan. Jauh sebelumnya, pelopor usaha ini di negara kita, Sarinah, juga kalah bersaing dengan pendatang baru. Untung saja Sarinah berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga eksistensinya masih terselamatkan.

Setelah Sarinah yang berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Pasaraya yang mengambil tempat di Blok M boleh dikatakan sebagai pemain lama juga. Inipun terlihat mengalami penciutan bisnis. Bahkan gerainya di Manggarai, Jakarta Selatan, seperti "hidup segan mati tak mau".

Berikutnya yang juga termasuk senior adalah Gelael Supermarket yang dulu punya beberapa gerai, namun sekarang hanya menyisakan sedikit saja gerainya. Salah satunya yang terletak di Tebet, Jakarta Selatan.

Jadi, bisnis pasar swalayan di tanah air sudah dari dulu mengalami kejatuhan yang menimpa pemain lama. Maksudnya para pelopor tak menjamin kelanggengan usaha. Begitu pemain baru masuk dengan jumlah barang yang lebih banyak, ukuran gerai yang lebih luas dan yang paling menentukan adalah harga yang lebih bersaing, maka pemain lama pun mulai kedodoran.

Nah, baru beberapa tahun terakhir ini yang namanya pemain baru itu tak lagi berupa gerai yang luas dan nyaman secara fisik, tapi menjajakan barangnya lewat aplikasi. 

Akankah gerai-gerai konvensional akan betul-betul lenyap semuanya? Belum tentu. Contohnya Gelalel yang telah disinggung di atas. Justru setelah gerainya tinggal sedikit, konsepnya diubah menjadi lebih segmented yang dalam hal ini menyasar kalangan menengah ke atas.

Kebetulan lokasinya yang di Tebet dekat gerbang tol dan Gelael sengaja menyediakan semacam kafe di dalam area supermarket dengan desain yang kekinian. Mereka yang janjian dengan temannya untuk bersama-sama pulang ke Bogor atau Bekasi saat pulang kerja, merasa lebih nyaman menunggu di Gelael sambil ngopi-ngopi cantik sekalian belanja keperluan harian.

Harga barangnya sengaja dipatok lebih tinggi dibanding pesaing, namun malah menjadikan pelanggannya merasa lebih berkelas dibanding pelanggan dua minimarket sejuta umat karena terbanyak gerainya di Indonesia, Indomaret, dan Alfa.

Jadi, pebisnis swalayan perlu lebih kreatif dalam mengganti strategi agar tidak tersungkur dihajar pebisnis yang memanfaatkan jaringan dunia maya. Bila tidak bisa menghadirkan harga yang paling murah, maka ciptakan diferensiasi di sisi pelayanan dengan menyasar segmen tertentu.

Untuk wilayah Jabodetabek, dari pengamatan sekilas, barang harian termurah disediakan oleh Tip Top Supermarket. Tak terdengar berita penutupan gerai Tip Top, malah semakin bertambah. Tapi jangan berharap kenyamanan di sini karena sesaknya pada hari libur, padahal space untuk pelanggan berkeliling dari rak ke rak lain, relatif sempit. Tempat parkir pun sulit mendapatkannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun