Mahata adalah perusahaan yang menyediakan akses wifi dalam pesawat yang dioperasikan maskapai Garuda dan maskapai lainnya yang satu grup dengan Garuda. Mahata akan menjual slot iklan dalam fasilitas tersebut dengan sasarannya adalah 50 juta penumpang Garuda dan anak perusahaannya setiap tahun.
Karena Mahata mendapat untung dari iklan, maka Mahata akan membayar kompensasi ke Garuda. Masalahnya, kompensasi itu belum dibayar oleh Mahata, Garuda sudah membukukannya sebagai pendapatan.
Sebetulnya, bagi mereka yang pernah belajar akuntansi, tentu memahami bahwa dalam metode akuntansi yang berlaku secara internasional, yang dipakai adalah meotode accrual basis, bukan cash basis.Â
Maksudnya, sebuah perusahaan diperkenankan mengakui pendapatan sepanjang haknya telah sah, meskipun belum diterima secara tunai atau masih berupa tagihan. Demikian pula sebaliknya, meskipun perusahaan belum membayar, namun kalau sudah timbul kewajiban, sudah dicatat sebagai biaya, walaupun masih berupa utang.
Kemungkinan besar pihak Garuda baru membuku pendapatan yang menjadi haknya sepanjang tahun 2018 saja, bukan untuk sepanjang masa kerjasama selama 15 tahun.
Namun dalam kasus Garuda tampaknya tidak sesederhana itu. Berhubung Mahata sendiri adalah perusahaan baru (didirikan November 2017 menurut berita detik.com, 3/5/2019), wajar bila ada yang meragukan apakah Mahata akan lancar membayar kewajibannya kepada Garuda.
Bila pembayaran dari Mahata mengalami tunggakan, justru Garuda secara teknis akuntansi harus membentuk cadangan piutang tidak tertagih yang jelas akan menggerogoti keuangan perusahaan. Maka laba yang terlanjur diakui menjadi bumerang buat tahun berikutnya.
Jadi kasus Garuda lebih kepada soal seberapa besar tingkat keyakinan terhadap kemampuan Mahata membayar kewajibannya kepada Garuda. Kita tunggu saja seperti apa ujung polemik ini, sambil berharap tidak ada pihak yang mempolitisir.