Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Istilah Garis Keras dan Garis Lunak di Muhammadiyah

12 Mei 2019   14:25 Diperbarui: 18 November 2019   07:54 2606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Suara.com/Muhaimin A Untung)

Sekitar akhir April 2019 lalu pemberitaan di media massa cukup heboh terkait pernyataan dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tentang provinsi garis keras dalam kaitannya dengan kekalahan pasangan Jokowi-Ma'ruf di beberapa provinsi.

Tak pelak lagi, warga Sumbar banyak yang meradang mendapat label garis keras tersebut. Syukurlah sekarang polemik tentang hal itu telah berakhir setelah Mahfud MD menyampaikan permintaan maaf bagi warga yang salah memahami pernyataannya. 

Seperti yang dilansir dari suara.com (1/5/1019), Mahfud menyebut arti garis keras dalam terminologi ilmiah sebagai "sikap kokoh, tidak mau berkompromi dengan pandangan yang dianggapnya tidak sejalan dengan prinsipnya". 

Terlepas dari polemik yang telah usai di atas, ternyata di lingkungan Muhammadiyah juga dikenal istilah garis keras dan garis lunak. Hal ini berkaitan dengan dua corak gerakan Muhammadiyah, yakni ala Minangkabau dan ala Yogyakarta. 

Hal tersebut terungkap pada buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu karya Salim Bella Pili dan Hardiansyah, yang resensinya dimuat oleh Kompas, 16 Februari 2019.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa dua corak gerakan itu berasal dari hasil penelitian untuk tesis dari seorang intelektual muda Muhammadiyah, Ahamad Najib Burhani, di Universitas Leiden, Belanda. 

Model Minangkabau menampakkan corak yang disebut dengan "Muhammadiyah garis keras", sedangkan model Yogyakarta cenderung moderat dan disebut juga "Muhammadiyah garis lunak".

Dalam perkembangannya, gerakan garis lunak relatif jauh berkembang, dan corak seperti itulah yang lebih diterima di Bengkulu. Pergerakan Muhammadiyah di Bengkulu semakin dinamis ketika Bung Karno dibuang Belanda ke kota di pantai barat Sumatera itu sebelum masa penjajahan Jepang.

Di Bengkulu pulalah Bung Karno bertemu dengan gadis remaja bernama Fatmawati yang kelak menjadi ibu negara, putri dari tokoh Muhammadiyah setempat, Hasan Din.

Namun harus diakui, Muhammadiyah yang dilahirkan di Yogyakarta, 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, sampai sekarang pun para pemimpinnya banyak yang berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya.

Jika melihat daftar para Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari masa ke masa, hanya dua kali dipimpin oleh tokoh yang berdarah Minang, yakni  Buya AR Sutan Mansur yang terpilih untuk dua periode, 1953-1956 dan 1956-1959 serta Ahmad Syafii Maarif pada tahun 1998-2005.

Itupun kalau melihat biografinya, AR Sutan Mansur dan Ahmad Sjafii Maarif sudah sangat membaur dengan budaya Jawa. Sutan Mansur sejak muda menetap di Pekalongan dan Sjafii Maarif sejak usia 18 tahun merantau ke Yogyakarta.

Namun tentu juga jangan melupakan peran Buya Hamka, seorang ulama besar asal Minang, yang meskipun tidak pernah menjadi ketua umum, tapi beliau dikenal sebagai seorang tokoh besar Muhamadiyah. Buya Hamka menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat dibentuk tahun 1975.

Tanpa bermaksud mengundang polemik baru, terlepas dari apakah istilah garis keras buat gerakan Muhammadiyah ala Minang sudah tepat atau perlu dicarikan istilah lain, warga Sumbar memang punya praktik yang berbeda dalam menjalankan perintah agama.

Sebagai contoh, tradisi tahlilan yang lazim diadakan di daerah lain bila ada angota keluarga yang meninggal, di Sumbar sudah lama ditinggalkan. Demikian juga tradisi berziarah ke makam ulama besar, tidak begitu banyak terlihat.

Perkembangan berikutnya, MUI Sumbar dengan tegas menolak istilah "Islam Nusantara" karena dinilai mengandung potensi penyempitan makna Islam yang universal. Namun pihak MUI Pusat yang setuju dengan konsep Islam Nusantara menyebut penolakan dari Ranah Minang itu gara-gara pemahaman yang tidak selaras atau belum sama frekuensinya (detik.com, 25/7/2018).

Istilah garis keras dan garis lunak memang berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi. Namun dengan asumsi semuanya bertujuan untuk pemurnian ajaran agama, sebetulnya istilah itu bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk saling melengkapi dan saling menghargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun