Itupun kalau melihat biografinya, AR Sutan Mansur dan Ahmad Sjafii Maarif sudah sangat membaur dengan budaya Jawa. Sutan Mansur sejak muda menetap di Pekalongan dan Sjafii Maarif sejak usia 18 tahun merantau ke Yogyakarta.
Namun tentu juga jangan melupakan peran Buya Hamka, seorang ulama besar asal Minang, yang meskipun tidak pernah menjadi ketua umum, tapi beliau dikenal sebagai seorang tokoh besar Muhamadiyah. Buya Hamka menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat dibentuk tahun 1975.
Tanpa bermaksud mengundang polemik baru, terlepas dari apakah istilah garis keras buat gerakan Muhammadiyah ala Minang sudah tepat atau perlu dicarikan istilah lain, warga Sumbar memang punya praktik yang berbeda dalam menjalankan perintah agama.
Sebagai contoh, tradisi tahlilan yang lazim diadakan di daerah lain bila ada angota keluarga yang meninggal, di Sumbar sudah lama ditinggalkan. Demikian juga tradisi berziarah ke makam ulama besar, tidak begitu banyak terlihat.
Perkembangan berikutnya, MUI Sumbar dengan tegas menolak istilah "Islam Nusantara" karena dinilai mengandung potensi penyempitan makna Islam yang universal. Namun pihak MUI Pusat yang setuju dengan konsep Islam Nusantara menyebut penolakan dari Ranah Minang itu gara-gara pemahaman yang tidak selaras atau belum sama frekuensinya (detik.com, 25/7/2018).
Istilah garis keras dan garis lunak memang berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi. Namun dengan asumsi semuanya bertujuan untuk pemurnian ajaran agama, sebetulnya istilah itu bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk saling melengkapi dan saling menghargai.