Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Amplop di Resepsi Pernikahan

18 Januari 2019   15:10 Diperbarui: 18 Januari 2019   15:23 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya belum lama ini menghadiri resepsi pernikahan anak dari seorang rekan kerja. Tepatnya  mantan rekan kerja, karena dulu untuk waktu yang cukup lama, saya dan si pengundang sering berkoordinasi untuk keberhasilan suatu program di perusahaan tempat kami bekerja.

Sekarang rekan tersebut posisinya jauh di atas saya, sehingga saya merasa bersyukur kalau masih diingatnya dan diundang di resepsi pernikahan anaknya.

Padahal sekarang ia, atau lebih sopannya "beliau", sudah menjadi direktur,  tetap di perusahaan tempat saya pernah berkarir. Sedangkan saya sudah purnabakti di perusahaan itu, dan meneruskan di perusahaan sejenis tapi hanya part time. 

Begitu saya sampai di tempat acara, ballroom sebuah hotel berbintang di Jakarta Selatan, saya langsung mengisi buku tamu dan siap-siap mengambil amplop yang telah stand by di kantong kemeja batik yang saya pakai untuk dimasukkan ke kotak tempat amplop.

Tapi setelah saya tanya ke penerima tamu mana lobang tempat memasukkan amplopnya, dijawab dengan sopan bahwa yang punya hajat memang sengaja tidak menerima amplop. Saya melongo sambil memasukkan kembali amplop ke saku. Alhamdulillah.

Padahal  berdasarkan pengalaman sebelumnya, saat pejabat yang lebih tinggi, katakanlah seorang direktur utama, mengadakan resepsi, tetap menerima amplop. Bahkan banyak bawahannya dan juga para mitra dari perusahaan yang dipimpinnya yang sungkan, sehingga amplop yang dimasukkan lebih tebal.

Amplop, tentu maksudnya uang sumbangan yang terselip di dalamnya, sudah menjadi budaya pada setiap acara pernikahan yang diberikan para undangan. 

Hal ini sudah berlangsung sejak sekitar 20 tahun lalu, pengganti kado berupa barang yang menjadi budaya lama dan sekarang dinilai tidak praktis.

Di samping itu amplop juga bisa ditafsirkan sebagai manifestasi dari semangat gotong royong untuk meringankan beban yang punya hajat. 

Dulu dalam budaya pernikahan di pedesaan, gotong royong tersebut tergambar antara lain dari sumbangan berupa bahan makanan dan ikut memasak bersama.

Namun dalam perkembangannya sekarang, amplop semakin bergeser maknanya, bukan sebagai manifestasi gotong royong, tapi ke arah berkaitan dengan untung rugi.

Jika yang punya hajat adalah pihak yang harus diambil hatinya misalnya untuk memenangkan suatu proyek atau untuk naik pangkat, maka amplop bisa menjadi "pintu masuk".

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membaca hal tersebut sebagai praktik gratifikasi terselubung, mewajibkan pejabat yang mengadakan resepsi untuk melaporkan jumlah penerimaan beserta rinciannya dari setiap tamu. 

Nah resepsi yang baru saja saya hadiri yang disinggung di awal tulisan ini, teman saya yang sudah jadi direktur itu jelas termasuk yang wajib lapor ke KPK karena ia menjadi pejabat perusahaan milik negara. Bisa jadi ia capek mengurus laporan seperti itu, sehingga memutuskan sekalian tidak menerima amplop.

Dulu pernah juga saya membaca undangan pernikahan yang berbunyi kira-kira begini: "tidak menerima karangan bunga, dana yang diterima semuanya akan disumbangkan kepada kaum duafa".

Tidak begitu jelas apakah bila pejabat yang punya hajat bermaksud menyumbangkan semua dana dari tamunya, juga termasuk wajib lapor ke KPK atau tidak. 

Sebaliknya amplop dari pihak lain yang tidak bermaksud "cari muka", adakalanya tipis sekali dan sengaja tanpa menulis nama, mungkin isinya senilai porsi makanan yang dinikmatinya di resepsi tersebut. Bahkan konon ada yang berani memberikan amplop kosong, dengan niat ikut makan gratis plus membawa pulang cenderamata.

Hanya saja amplop kosong tentu tidak bakal ada di tempat tertentu yang penerima tamunya memberi nomor amplop sesuai dengan nomor di buku tamu. Atau kalaupun berani, menggunakan nama samaran. 

Pernah pula saya di sebuah resepsi, saat mengisi buku tamu juga tidak ada kotak tempat amplopnya. Tapi penerima tamu menjelaskan bahwa di dekat pelaminan ada dua kotak, yang satu untuk keluarga penganten pria, dan satu lagi untuk keluarga penganten wanita.

Bagus juga cara begitu, tamu bisa memastikan bahwa amplop yang dimasukkan sampai ke tangan orang yang dituju, maksudnya tentu orang yang dikenalnya secara baik. 

Bisa jadi si tamu tidak kenal dengan kedua penganten, tapi sangat mengenal orang tua salah satu penganten. Bagi yang punya hajat cara seperti ini juga memudahkan dalam membagi hasil pengumpulan amplop.

Tapi pasti cara tersebut tidak berlaku pada resepsi yang memakai sistem bandar. Maksudnya semua biaya ditanggung seorang atau beberapa orang yang berfungsi seperti  bandar, dengan catatan semua amplop yang masuk menjadi haknya bandar tersebut.

Secara umum, jumlah dana yang diterima sulit menutupi, apalagi melebihi dari semua pengeluaran buat resepsi. Tapi saya mendengar beberapa cerita yang bersifat pengecualian karena menuai untung saat mengadakan resepsi.

Demikian saja catatan spontan tentang amplop di resepsi pernikahan. Kalau membaca kalimat yang tertera di undangan, yang diminta sebetulnya adalah doa restu, bukan amplop. Jadi tak usah malu memberi amplop yang tipis, sepanjang diberikan dengan ikhlas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun