Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makna dan Filosofi Sandal Jepit sebagai Mahar Pernikahan

2 Januari 2019   15:06 Diperbarui: 2 Januari 2019   17:55 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. tribunnews.com

Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah lagi ramai diperbincangkan di media sosial, gara-gara di sana terjadi peristiwa yang jarang terjadi, mungkin baru pertama kalinya di Indonesia.

Peristiwanya sendiri adalah acara akad nikah, suatu hal yang sering terjadi di mana saja. Tapi menjadikan sepasang sandal jepit sebagai mahar pernikahan, barangkali ya hanya terjadi di Kebumen itu, tepatnya di Desa Sumberadi, Kecamatan Somalangu, Kabupaten Kebumen. Adapun pasangan yang menikah adalah Budi Ristiyanto dan Julia Warasita yang dilaksanakan tanggal 29 Desember 2018 yang lalu. 

Sontak begitu ada yang mengunggah hal itu di sebuah grup media sosial, langsung menuai banyak komentar dan dibagikan ke berbagai grup media sosial lainnya, sehingga menjadi viral.

Tadi siang (2/1), saya menonton acara berita dari sebuah stasiun televisi nasional, yang antara lain menghadirkan wawancara dengan kedua pengantin yang menghebohkan tersebut. 

Ternyata tidak ada niat kedua pengantin untuk menjadi mendadak terkenal. Ide awalnya merupakan permintaan dari mempelai wanita, dan mempelai pria sempat mempertanyakan keseriusan permintaan wanita pujaannya itu.

Mempelai wanita kokoh dengan permintaannya karena merasa yang penting adalah keikhlasan calon suaminya untuk memberikan mahar dan keridhoan ia sendiri menerima mas kawin itu, bukan dari mahalnya barang. Toh meminta perhiasan mahal meskipun akan dipenuhi, kalau tidak ikhlas, percuma saja.

Lalu kenapa harus sandal? Jawaban mempelai wanita pada wawancara di atas, karena ada makna filosofisnya. Sepasang sandal selalu berjalan beriringan, ke mana-mana selalu bersama. Sayangnya, pewawancara tidak mengejar lebih lanjut, bukankah sepatu juga beriringan kemana-mana.

Atau kalaupun harus sandal, bukankah banyak sandal lain yang lebih berkelas ketimbang sandal jepit. Nah, kalau melihat tanggapan para netizen yang dikutip oleh tribunnews.com (2/1), sandal jepit lebih menggambarkan kesederhanaan. 

Saya sendiri juga punya jawaban yang bersifat dugaan atas pertanyaan kenapa yang dipilih sandal jepit? Karena di samping murah itu tadi (bahasa halusnya: sederhana), sandal jepit adalah jenis sandal yang tak punya kelamin, eh maaf, maksudnya tak ada perbedaan sandal jepit wanita dan pria. 

Jadi, filosofis sandal jepit sebagai mahar adalah menggambarkan kebersamaan yang setara antara suami dan istri, saling mengisi, saling melengkapi. Yang satu otomatis tak berfungsi bila tidak didampingi oleh yang satunya lagi.

Saya jadi ingat pengalaman waktu kuliah dulu di awal dekade 1980-an. Ketika itu mahasiswa masih bebas bisa ke kampus pakai t-shirt dan sandal jepit. Saya relatif sering masuk kelas pakai sandal, meski bukan sandal jepit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun