Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Satu Keluarga yang Selamat dari Bencana Tsunami Selat Sunda

3 Januari 2019   13:55 Diperbarui: 3 Januari 2019   16:12 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. tribunnews.com

Adapun anak-anak dan kepoanakannya tak begitu peduli dengan pemilihan kamar, langsung bermain-main di pantai yang tak begitu jauh setelah menyeberangi jalan raya.

Selepas salat magrib, mereka berkumpul di vila untuk makan malam dengan makanan yang telah dibawa dari Jakarta. Mungkin karena kecapean, tak lama setelah makan malam, sekitar jam 20.30 masing-masing sudah masuk kamar. 

Tini beserta suami dan anak bungsunya juga mulai merebahkan diri setelah terlebih dahulu memeriksa pesan masuk di gadget-nya. Namun ketika Tini masih belum tertidur nyenyak, tiba-tiba terdengar suara gemuruh, dan semakin kaget ketika air masuk ke dalam vila.

Belum sadar kalau itu merupakan bencana tsunami, Tini membangunkan suami dan anaknya, lalu naik tangga ke lantai atas. Ibu, dua anak remajanya dan dua keponakannya yang sudah tertidur di dua kamar di atas, dibangunkan oleh Tini. Lalu mereka berjaga-jaga .

Ada sekitar setengah jam mereka duduk terpaku di lantai atas, kemudian tersentak saat mendengar teriakan dari luar vila memanggil penghuni agar menyelamatkan diri ke arah bukit di belakang vila. Maka mereka pun tergopoh-gopoh turun ke bawah, berjalan membelah air yang setinggi lutut orang dewasa. 

Tini sendiri bertelanjang kaki dan tidak menghiraukan rasa sakitnya ketika sudah melewati semak-semak menuju tempat yang lebih tinggi di kegelapan malam. Begitu ketemu ada seseorang di sebuah rumah kecil, Tini mencoba meminjam sandal jepit, yang tiba-tiba jadi benda amat berharga. 

Tapi satu-satunya sandal yang ada adalah yang dipakai orang itu. Untung saja ia berbaik hati memberikan sandal yang dipakainya, dan Tini merasa terharu sambil berdoa semoga Allah membalas kebaikan yang tak ternilai dari orang yak tak dikenalnya itu.

Berjalan menaiki bukit secara tergesa-gesa padahal kondisi gelap hanya mengandalkan sebuah senter dari penunjuk jalan dan cahaya dari telpon genggam, menjadi pengalaman Tini yang paling mendebarkan, tapi sekaligus paling disyukurinya, karena keluarganya masih utuh. Bahkan sang ibu ternyata mampu mendaki dengan dibimbing oleh kedua keponakan Tini. Sedangkan anak bungsunya bergantian dibimbing oleh Tini dan suami.

Sampai dini hari mereka bertahan ramai-ramai bersama penghuni vila lainnya dan juga warga setempat di beberapa dangau di atas bukit itu. Mungkin tidak tepat disebut bukit, tapi yang penting cukup aman dari kejaran air laut. Keluarga Tini yang orang kota dengan tingkat kesejahteraan yang lumayan karena dulu almarhum bapaknya seorang pejabat di sebuah bank, sungguh tak membayangkan akan mengalami  peristiwa seperti itu. 

Setelah ada informasi bahwa situasi sudah aman, saat subuh mereka  kembali ke vila untuk mengemasi barang-barangnya. Ketika itulah rasa syukurnya demikian memuncak karena sekarang terlihat jelas pemandangan mengerikan, yang tak perlu ditulis lagi, ya seperti terlihat di pemeberitaan televisi dan media lainnya. 

Tini bersyukur karena keluarganya semua utuh. Bersyukur pula bahwa mobil mereka yang ditinggal di Jakarta masih rezekinya, bukan termasuk yang terdampar dihantam tsunami. Bersyukur bahwa ibunya memilih kamar di lantai atas vila, sehingga lebih aman ketimbang di lantai bawah, saat ombak masuk vila. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun