Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saling Menghargai dalam Menyikapi "Hijrah"

9 Juli 2018   17:53 Diperbarui: 10 Juli 2018   00:22 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: hallo-nachbar.info

Saat lebaran yang lalu, saya berkesempatan mendatangi salah seorang kerabat di Jakarta Timur. Saya agak kaget melihat di rumah kerabat saya terdapat beberapa kardus barang berisikan alat-alat kesehatan yang rupanya menjadi bisnis kerabat saya tersebut.

Kenapa saya kaget? Karena sebetulnya karir sang tuan rumah setahu saya lumayan bagus di sebuah bank milik negara dan usianya relatif muda, sehingga prospek yang lebih cerah di masa depan telah menunggu. 

Saya tidak bisa berkomentar apapun ketika kerabat tersebut menyebut alasan "hijrah" sebagai penyebab ia resign dari bank. Namun dari gesture istri dan anaknya yang sudah remaja, saya menebak keputusan si suami tidak membuat keluarganya happy.

Beberapa bulan sebelumnya, teman saya yang lain melunasi semua utangnya di sebuah bank dengan menjual rumah satu-satunya yang ia punyai. Rumah itu  didapatnya dengan  mekanisme kredit kepemilikan rumah dengan angsuran yang relatif tertutupi dari gaji bulanannya, meskipun masa cicilannya relatif lama. 

Sang teman bekerja di sebuah perusahaan swasta bonafide. Logikanya setiap tahun perusahaan tersebut mampu memberikan kenaikan gaji barang 5-10% kepada karyawannya. Tentu lama kelamaan bagi teman saya nilai cicilan kreditnya semakin terasa enteng, karena semakin kecil porsi gajinya yang terpakai untuk membayar utang ke bank.

Tapi begitulah, karena hijrah yang diyakininya tidak membolehkan ia berhubungan dengan bank, maka semua utangnya dilunasi sekaligus. Bahkan pekerjaannya di perusahaan bonafide itu tadi juga ditinggalkannya karena laba perusahaan banyak yang berasal dari jual beli saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya yang tak terlepas dari unsur pergerakan suku bunga.

Alhasil sekarang teman saya tersebut kembali menjadi kontraktor alias tinggal di rumah kontrakan seperti saat ia baru berkeluarga. Pekerjaannya berganti dengan membuka warung makan di sebuah kawasan yang ramai dengan kos-kosan mahasiswa. 

Dugaan saya, "hijrah" model teman saya itu akan membuatnya menderita, ternyata tidak terbukti. Bahkan saya bersyukur ketika ia mengatakan bahwa sekarang hidupnya lebih tenang. Tapi saya tak tahu apakah istri dan anak-anaknya juga nyaman dengan kondisi  dimaksud.

Satu contoh lagi, ada pula teman saya yang punya deposito di sebuah bank swasta terkemuka. Dari bunga bulanannya saja, ia mampu menutupi biaya listrik, telpon, dan upah pembantu rumah tangga.

 Namun setelah memutuskan "hijrah'', deposito itu ia cairkan, dan diserahkan sebagai modal bisnis salah seorang teman sepengajiannya, dengan pola bagi hasil.

Nah, kebetulan contoh ini termasuk yang belum berhasil. Bisnis si teman boleh dikatakan gagal dan modalnya amblas. Sudah begitu istrinya ternyata punya persepsi yang berbeda tentang "hijrah", dan memilih jalan sendiri. Maka suami-istri itupun bercerai. Dua orang anak mereka yang masih duduk di bangku SD memilih ikut bersama sang mantan istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun