Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia seperti Kiamat Ketika Jaringan Internet Terputus

13 Desember 2017   17:22 Diperbarui: 13 Desember 2017   19:54 2194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Imajinasi saya jadi liar, bahkan tingkah saya mirip orang senewen, ketika tiga hari tiga malam saya kehilangan kontak dengan putra tertua saya yang lagi menggarap tugas akhir untuk menggondol gelar S1 di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Surabaya. Chattingmelalui media sosial yang rutin saya lakukan, tidak mendapat respon, bahkan tidak ada tanda bahwa pesan saya telah sampai. 

Ketika saya telpon, muncul jawaban bahwa nomor yang saya hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar area. Hal ini saya lakukan berulang-ulang sampai puluhan kali selama tiga hari tiga malam itu. Terakhir saya mengirim email dua kali, yang juga tidak mendapat respon. 

Saya mencoba pasrah dan berencana untuk membeli tiket pesawat ke Surabaya. Tapi saya tidak bisa betul-betul pasrah. Masalahnya ya itu tadi, imajinasi saya jadi liar. Jangan-jangan anak saya telpon genggamnya hilang, atau dicuri orang. Apalagi ia pernah ditodong sekelompok preman saat berjalan sendirian pulang ke kosannya dari rumah teman pada jam 11 malam. Saat itu  ia terpaksa merelakan hapenya berpindah tangan. Sesampainya di kosan, ia pinjam hape teman lain dan memberi tahu saya apa yang terjadi.

Bayangan yang aneh-aneh makin menjadi-jadi. Jangan-jangan ia tergelatak di kamar kos sendirian tanpa ada yang mengetahui. Berita tentang penemuan mayat di kamar kos yang baru diketahui setelah bau menyengat dan petugas kepolisian mendobrak pintu kamar, menghantui saya. Ada pula berita di media sosial, entah hoax entah nggak, tentang remaja yang meninggal kesetrum karena mendengar musik dari earphone yang terhubung ke telepon genggamnya yang lagi di-charge, dan lalu tertidur. Anak saya memang sering mendengar musik seperti itu, tapi saya belum melihat kalau itu dilakukan sambil mengisi daya hape.

Alhamdulillah, betapa leganya perasaan ketika menginjak hari keempat, muncul balasan email dari sang anak. Betul, hapenya error, dan jaringan internet di kosannya juga terputus. Karena kesibukan mengejar tugas yang harus disetor ke dosennya, ia tidak mempunyai keinginan buat ke warnet sekadar mengecek email, dan baru dilakukannya setelah tugasnya kelar.

Agaknya, mengacu ke istilah kids jaman now, saya boleh dikatakan lebay, terlalu berlebihan. Tapi dalam spektrum yang lebih luas, sekarang suka tidak suka kita semua memang telah terperangkap oleh teknologi. IT trap yang membuat kita tidak punya pilihan lain, selain selalu meng-up date perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan teknologi yang kita miliki. Begitu salah satunya error, buyar sudah semuanya, dunia seperti kiamat.

Saat masih bekerja di bank yang punya jaringan kantor yang tersebar di seluruh tanah air, dunia seperti "kiamat" yang saya maksudkan dapat dicontohkan ketika core banking systemmegalami masalah. Akibatnya nasabah tidak bisa bertransaksi dan laporan tidak bisa diproses. Para pekerja, kecuali petugas IT yang mengecek sistem, bengong saja menunggu sistemnya pulih. 

Kalau gangguannya bersifat lokal atau partial, boleh juga dibilang kiamat kecil. Contohnya, bank-bank yang menyewa sebuah satelit agar transasksi via ATM bisa berfungsi, pernah satelitnya terganggu, sehingga semua ATM yang terhubung melalui satelit tersebut, dengan "sopan" meminta maaf pada penggunanya. Namun transaksi via teller di kantor cabang tetap bisa beroperasi. 

Padahal dulu, di awal saya menjadi pegawai, transaksi perbankan dilakukan secara manual. Tak ada istilahnya kalau jaringan listrik mati atau sistem aplikasi lagi terganggu, nasabah disuruh menunggu berjam-jam. Tapi karena serba manual, seorang bapak di kota kecamatan saat mentransfer uang ke anaknya yang kuliah di kota provinsi, bisa tiga sampai empat hari, baru sampai ke tangan sang anak. 

Beda sekali dengan sekarang yang serba instan, real time on line. Namun ya, yang bikin kesal, begitu sistem terganggu dunia seolah "kiamat". Sebuah ketergantungan yang kadang-kadang menyengsarakan.

Kebetulan saya ditempatkan di bagian akuntansi. Nah saya mengalami bagaimana dulu bank  tempat saya bekerja, baru mampu menyusun laporan keuangan posisi akhir bulan,  dua minggu setelahnya. Soalnya, saya yang bertugas di kantor pusat harus menunggu laporan keuangan semua cabang masuk dulu, baru diproses, itu pun sudah pakai komputer, namun belum terintegrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun