Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menteri Jadi Gubernur, Turun Kelas?

23 November 2017   09:27 Diperbarui: 24 November 2017   07:39 14316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak siap maju di Pilgub Jawa Timur| Sumber: Tribunnews/Irwan Rismawan

Akhirnya kepastian Khofifah Indar Parawansa, yang saat ini masih aktif menjabat sebagai Menteri Sosial, untuk ikut bertarung pada ajang pemilihan Gubernur Jawa Timur, sudah semakin jelas. Khofifah dipasangkan dengan Bupati Trenggalek, Emil Dardak, oleh partai pengusung, Golkar dan Demokrat. Ada yang menyayangkan bahwa Khofifah begitu berani melepas kursi empuk menteri untuk menggapai kursi gubernur. Itupun juga ada kemungkinan untuk kalah.

Toh, andaipun Khofifah menang, bisa saja muncul pertanyaan di banyak orang, apakah itu bukan "turun kelas"? Menteri jelas sekali punya daerah kerja seluas negara ini, sedangkan gubernur hanya seluas provinsi. Kalau Khofifah sudah berstatus mantan menteri, tidak masalah.  Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, setelah dicopot dari kursi Menteri Pendidikan. Bahkan seorang mantan Menteri Kehutanan, Nur Mahmudi Ismail, tidak malu untuk "hanya" jadi Walikota Depok, Jawa Barat. Karena bagi seorang mantan, ada lahan perjuangan baru, sekecil apapun itu, tentu baik-baik saja.

Tapi tunggu dulu, betulkah kedudukan menteri lebih tinggi dari gubernur? Apalagi kelaziman di waktu dulu, terutama di era Orde baru, gubernur yang sukses seolah-olah mendapat promosi dengan ditunjuk jadi menteri. Bahkan berlanjut di era SBY yang mengangkat Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, sebagai Menteri Dalam Negeri. 

Pertanyaan di atas mungkin tidak bisa dijawab secara hitam-putih. Artikel inipun tidak akan membedah masalah ini, namun mencoba mencari pembanding dengan mengangkat isu birokrasi di perusahaan berskala nasional, khususnya yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Agaknya tidak terlalu tepat, tapi seorang menteri dapat diibaratkan seorang kepala divisi di sebuah BUMN, sedangkan seorang gubernur bisa dikatakan pemimpin wilayah. Kepala divisi hanya ada di struktur organisasi kantor pusat. Pada lapisan paling atas ada Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama (anggap saja Presiden dan Wapres), kemudian ada beberapa direktur (anggap saja menteri koordinator). Setiap direktur membawahi beberapa orang kepala divisi (mirip menko yang membawahi beberapa menteri).

Secara operasional, di bawah Direksi (terdiri dari dirut, wadirut dan beberapa direktur), ada jaringan kantor-kantor wilayah yang dipimpin seorang pemimpin wilayah (anggap saja gubernur). Wilayah membawahi cabang-cabang (anggap saja bupati), dan masing-masing terbagi lagi pada beberapa ranting atau cabang pembantu (setingkat kecamatan).

Dalam peta jalur karir, ada BUMN yang menganggap kepala divisi harus menjadi pemimpin wilayah terlebih dahulu, baru bisa dicalonkan untuk menjadi direktur. Ada juga yang sebaliknya, dari pemimpin wilayah harus melewati jenjang kepala divisi sebelum meraih kursi direktur. Tapi di kebanyakan BUMN, kepala divisi dan pemimpin wilayah dianggap satu eselon, yakni posisi satu lapis di bawah direksi, sehingga semua pemimpin wilayah dan kepala divisi menjadi feeder buat menggantikan anggota direksi saat ini.

Nah, enak mana jadi kepala divisi atau pemipin wilayah, tergantung kompetensi seseorang. Kepala divisi bersifat spesialis, sedangkan pemimpin wilayah bersifat generalis. Kepala Divisi Akuntansi, sebagai misal, harus menguasai secara rinci seluk beluk penyusunan laporan keuangan dari semua unit kerja di seluruh Indonesia yang dipunyai oleh suatu perusahaan. Sedangkan Pemimpin Wilayah Jawa Timur, bertindak seperti seorang direktur utama yang mengkoordinir semua aspek, baik produksi, pemasaran, sumber daya manusia, termasuk juga menyusun lapoan keuangan, tapi hanya dalam ruang lingkup wilayahnya saja. 

Jelaslah, seorang pemimpin wilayah bertindak seperti seorang dirigen, ada juga yang menyebutnya seperti komandan "perang", karena pada hakikatnya memperebutkan konsumen dengan mengalahkan banyak perusahaan pesaing, layaknya perang di pasar. Makanya ia disebut sebagai orang lapangan. 

Sebaliknya kepala divisi lebih seperti seorang pemikir di belakang meja, ahli dalam berdiskusi, tapi cenderung berpikiran sempit hanya melihat kepentingan divisinya saja. Setiap divisi menyusun kebijakan, lalu diedarkan ke semua cabang dengan kalimat penutup:"agar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya". Kemudian divisi melakukan evaluasi atas implementasi di cabang-cabang, bahkan terkadang memberi sanksi bagi cabang yang kiinerjanya jelek. 

Padahal boleh jadi pejabat kantor pusat yang pemikir tersebut bukanlah seorang eksekutor yang baik, dan keok saat bertarung di lapangan. Tak heran bila ada seorang kepala divisi ketika dimutasi jadi pemimpin wilayah akan merasakan betapa sulitnya melaksanakan arahan yang dia bikin sendiri saat menjadi kepala divisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun