Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Oh, Begini Rasanya Jadi Konsultan

17 Oktober 2017   17:09 Diperbarui: 17 Oktober 2017   21:47 6157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok: alita-indonesia.com

Sejak saya pensiun dari sebuah bank BUMN setahun yang lalu, saya mencoba mencari kesibukan dengan motif utama bukan untuk mencari uang. Salah satu job yang saya dapatkan adalah menjadi anggota konsultan "cabutan". Maksudnya, saya bukan menjadi tenaga tetap di sebuah lembaga yang bergerak di bidang pelatihan dan konsultan bisnis keuangan. Namun bila lembaga tersebut mendapat sebuah proyek konsultasi yang butuh beberapa orang, dan tidak terpenuhi dari tenaga tetapnya, saya diminta untuk bergabung hanya untuk proyek itu saja.

Demikianlah, ringkas cerita, sebuah perusahaan terkemuka untuk ukuran sebuah provinsi di Sumatera, mempercayakan lembaga tersebut untuk menyusun studi kelayakan dalam rangka mengakuisisi perusahaan yang berukuran lebih kecil dan beroperasi di provinsi yang sama. Perusahaan yang diincar tersebut selama ini berstatus sebagai mitra atau rekanan. 

Saya kebetulan menjadi salah satu anggota tim konsultan untuk proyek tersebut. Jujur, ini adalah pengalaman pertama saya. Kalau sebagai counterpart atau pendamping dari konsultan yang dipakai oleh perusahaan tempat saya dulu aktif bekerja, saya sudah punya pengalaman beberapa kali. Tapi tentu waktu itu saya berada di pihak perusahaan yang meng-hire konsultan.

Sebetulnya perusahaan yang minta dibuatkan kajian tersebut, sudah mempunyai Divisi Perencanaan dengan jumlah staf yang cukup. Kenapa mereka masih butuh konsultan? Biasanya, berdasarkan pengalaman saya waktu masih jadi karyawan, kalau yang membuat kajian orang dalam, agak sulit meyakinkan pucuk pimpinan. Maka untuk justifikasi atau untuk membantu menyampaikan pada direksi, perlu konsultan karena lebih didengar. 

Membuat rencana bisnis, merubah strategi pemasaran, kajian akuisisi perusahan lain, menyusun pola jenjang karir karyawan, membangun aplikasi untuk sistem informasi, membuat buku panduan atau prosedur operasional, menyusun budaya kerja atau budaya sadar risiko, adalah beberapa topik yang sering dimintakan bantuan oleh suatu perusahaan pada konsultan.

Tentu konsultan juga punya spesialisasi. Ada konsultan keuangan, ada konsultan teknologi informasi, ada konsultan sumberdaya manusia, ada konsultan pemasaran, dan sebagainya. Nah yang saya ikuti kali ini, seperti yang saya singgung di atas, adalah konsultan spesialis di bidang jasa keuangan.

Awalnya saya menaruh harapan besar bahwa pekerjaan akan cepat kelar. Saat kick off meting dengan klien, telah disepakati masa kerja adalah selama tiga bulan, dengan urut-uratannya dimulai dari tahap pengumpulan data, tahap analisis, tahap penyusunan draft kajian, tahap menerima feedback dari klien, dan tahap pelaporan hasil kajian final sebagai deliverable-nya. Mohon maaf, dunia konsultan memang terbiasa memakai beberapa kata dalam Bahasa Inggris, meski tahu apa padanannya dalam bahasa Indonesia. Ini menyangkut pencitraan, mohon dimaklumi.

Tapi bayangan saya bahwa pekerjaan akan mulus-mulus saja, segera sirna. Dalam tahap pengumpulan data saja, tidak semua langsung diperoleh. Apalagi kalau data tersebut memerlukan pendalaman berupa wawancara dengan klien, mencari waktu yang pas, ternyata tidak gampang. Ada staf klien yang ogah-ogahan menjawab pertanyaan atau mencarikan data yang diminta konsultan. Bahkan ada staf klien yang melontarkan pernyataan, sekaligus pertanyaan, yang bernada ngledek, "Anda sebagai konsultan kan harusnya lebih tahu, kok malah Anda belajar pada kami?"

Lalu saat menyusun draft hasil analisis beserta rekomendasinya, cukup melelahkan karena bolak balik kayak setrikaan. Waktu di level staf klien sudah oke, kepala bagiannya minta ada tambahan analisis. Saat kepala bagiannya sudah oke, giliran kepala divisi yang minta dirubah asumsi dan skenario yang digunakan, agar kesimpulan dan sarannya sesuai dengan harapan mereka. 

Bahkan saat lagi santai menikmati weekend, datang permintaan mendadak agar tim konsultan segera terbang ke kota tempat perusahaan klien berada. Sang direktur utama rupanya tidak happy dengan hasil analisis konsultan, dan agar tidak salah persepsi, tim konsultan harus "menghadap" hari itu juga, karena di hari lain agenda pak dirut sudah penuh.

Akhirnya yang kami (tim konsultan) kerjakan menjadi analisis pesanan, anggap saja "tukang jahit", bukan lagi sesuai idealisme kami. Bahkan ruang lingkup pekerjaan menjadi sedemikian rinci sampai menyiapkan hal teknis, yang di awal menurut kami adalah pekerjaannya klien sebagai tindak lanjut dari rekomendasi kami. 

Rupanya ada beda penafsiran tentang ruang lingkup itu tadi. Padahal, kami sebelumnya berniat "memancing" saja, agar bila klien minta dibuatkan petunjuk teknis, kami akan jawab dengan meminta kontrak baru, yang artinya ada lagi proyek baru dengan honor baru. Tapi begitu instruksi datang dari dirut, lidah kami terkunci, dan menerima saja penugasan tambahan tersebut sebagai bagian dari kontrak yang sudah ada.

"Pembeli adalah raja", makanya posisi klien lebih tinggi. Kami takut kalau hasil kerja kami tidak disetujui, artinya pekerjaan kami belum tuntas, dan berbuntut pada banyak hal, termasuk keterlambatan pembayaran honor. Ya sudahlah. Konsultan mungkin memang diperlukan hanya untuk mendukung atau mengkonfirmasi keputusan yang sudah ada di benak sang dirut.

Kalau ada yang mempertanyakan di mana letak profesionalitas seorang konsultan, jawaban kami itu hal yang relatif. Tapi konsultan yang baik tentu pada awalnya akan membuat analisis sesuai dengan keahlian dan keyakinannya. Sedangkan untuk mengakomodasi kemauan pemesan tinggal menambahkan beberapa catatan beberapa skenario dengan berbagai asumsi, yang dimaui klien. 

Menurut saya, agar kerjasama antara konsultan dan klien menjadi sesuatu yang bersifat win-win, kuncinya harus ada kerjasama yang baik dengan tim counterpart. Kalau orang dalam setengah hati melayani pertanyaan konsultan (dan malah mangkel karena merasa terpaksa mengajari konsultan seperti yang saya tulis di atas), maka gak akan efektif.

Konsultan mana pun pasti di awalnya perlu "belajar" atau mengamati dengan cermat agar tidak salah dalam memahami proses bisnis yang dilakukan klien, antara lain dengan metode wawancara dan focus group discussion. Baru setelah itu, berbekal pengalamannya di tempat lain dan data atau kajian teoritis yang menjadai referensi, konsultan bisa memberikan rekomendasi dengan melihat dari berbagai sisi. Biasanya orang dalam, karena sehari-hari bekerja di perusahaan, sering tidak sensitif lagi melihat permasalahan yang dihadapinya. Makanya agar mendapat view lain, bisa dengan minta bantuan konsultan.

Walaupun pada awal tulisan ini saya menyatakan motif utama saya tidaklah untuk mencari uang, rasanya tetap perlu saya sampaikan di sini seperti apa gambarannya, terlepas dari apakah faktor uang ini sebagai pertimbangan nomor urut 2 atau bahkan nomor 13.

Kalau ada yang bilang konsultan dibayar mahal, itu sih relatif. Karena yang mahal sebetulnya untuk memakai nama lembaga yang jadi "bendera", dalam hal ini nama lembaga tempat saya menjadi tenaga "cabutan". Jelas honor tersebut didistribusikan terlebih dahulu untuk manajemen lembaga tersebut, baru untuk tim yang bekerja pada suatu proyek. Nah, karena anggota timnya lumayan banyak, tentu yang didapat oleh orang per orang, ya gak besar juga. Lagian pembayaran diterima di belakang, lama setelah pekerjaan tuntas tas tas.

Saya coba membandingkan dengan pekerjaan lain yang juga saya lakoni sebagai tenaga cabutan masih di lembaga yang sama, maka yang paling enak menurut versi saya adalah jadi asesor. Contohnya ada klien yang minta para personilnya di-asses dalam rangka pengembangan karir. Dalam hal ini asesor hanya menggali potensi seseorang dengan mengajukan pertanyaan, setelah itu lebih banyak mendengar, lalu menyimpulkan. Dalam waktu beberapa hari kemudian honor sudah masuk rekening, tergantung jumlah yang di-asses.

Jadi pengajar dalam sebuah pelatihan singkat bagi orang kantoran, bisa inhouse training atau sejenis workshop, menjadi narasumber atau panelis di sebuah diskusi atau seminar, juga termasuk pekerjaan yang enak. Kita memang agak capek sedikit karena banyak ngomong. Tapi setelah itu ya selesai, pekerjaan dianggap tuntas, dan mekanisme pembayaran honor sudah jelas.

Nah yang terakhir (paling tidak enak di antara yang enak) baru jadi anggota konsultan. Mungkin kalau jadi bosnya konsultan enak kali ya. Ikut hanya di kick-off meeting dan exit meeting saja, yang sifatnya formalitas dan seremonial dengan petinggi perusahaan klien. Tapi tidak perlu cemburu dengan bagian honor untuk bos yang relatif besar, karena biasanya bos adalah pendiri, yang berdarah-darah di awal pendirian lembaga. Tanggung jawab bos juga sebanding karena ia yang menandatangani laporan hasil pengkajian. 

Meskipun saya bilang ada "duka"-nya menjadi kosultan, saya tetap bersyukur, karena sudah mengalami dan bisa berkata, "Beginilah rasanya menjadi konsultan". Bila masih dipercaya dan ditawari lagi, insya Allah saya tetap mau menjadi anggota tim konsultan. Ada keuntungan lain yang menurut saya bernilai tinggi, yakni memacu untuk belajar lebih banyak dan mengasah kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun