Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah Kaprah tentang Ranking Satu di Sekolah

25 Desember 2016   10:18 Diperbarui: 25 Desember 2016   14:59 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Bertepatan dengan hari terakhir sekolah sebelum liburan Natal dan tahun baru, di banyak sekolah dilakukan acara penyerahan rapor murid-murid. Saya menyempatkan diri datang ke sebuah SMA Negeri di Jakarta untuk mengambil rapor anak saya.

Secara umum saya bersyukur melihat angka di rapor anak saya, dengan nilai rata-rata 88. Tapi karena banyak orang tua yang menanyakan ranking kepada wali kelas yang menyerahkan rapor, dan ranking tersebut tidak ditulis di rapor tapi ada di daftar yang dipegang wali kelas, saya juga ikut-ikutan bertanya.

Ternyata ranking anak saya berada di posisi 15 dari 36 siswa. Artinya ada 14 anak yang nilai rata-ratanya di atas 88. Saya tidak kecewa dan tetap memberi selamat pada anak saya dan berpesan untuk lebih meningkatkan prestasi belajarnya di semester mendatang.

Tidak lama setelah itu, dari obrolan di grup WhatsApp yang beranggotakan saudara-saudara saya beserta anggota keluarga masing-masing, terungkap kebahagiaan beberapa saudara yang anak-anaknya mendapat ranking satu di kelasnya. Tentu saya gembira membacanya dan mengucapkan selamat, namun saya tidak menginformasikan ranking anak saya sendiri.

Tanpa bermaksud membanggakan diri, saya dan saudara-saudara waktu bersekolah puluhan tahun lalu, sering dan bahkan bisa dikatakan "langganan" dapat ranking satu. Hanya begitu ke generasi berikutnya, di level anak-anak kami, ada yang berhasil mempertahankan tradisi tersebut, ada pula yang tidak.

Barangkali karena menyadari tradisi ranking ada ekses negatifnya, seolah-olah yang ranking bawah adalah anak-anak yang tersisihkan, padahal masing-masing mempunyai kelebihan atau potensi yang bisa dikembangkan, maka sekarang kebanyakan sekolah tidak lagi menuliskan ranking di rapor.

Namun tradisi ranking terlanjur memasyarakat, sehingga di sekitar hari penerimaan rapor, topik tentang ranking anak-anak, relatif sering terdengar. Baik-baik saja sih, tapi melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan hal-hal berikut:

Pertama, ranking yang bagus di sekolah adalah salah satu modal dasar untuk kelak sangat bermanfaat saat si anak dewasa dan merintis karir di lapangan kerja yang dimasukinya. Tapi keliru sekali bila hanya mengandalkan faktor kepintaran secara akademis semata.

Dalam dunia nyata kemampuan akademis saja belum cukup, tanpa kemampuan dalam bersosialisasi, berkomunikasi, mengendalikan emosi dalam jaringan pertemanan, dan sebagainya. Makanya di samping faktor IQ, tak kalah pentingnya adalah EQ (emosional) dan SQ (spiritual).

Justru orang-orang yang sekarang menjadi pemimpin yang sukses, baik di pemerintahan maupun di swasta, banyak juga yang saat sekolah rankingnya biasa-biasa saja, namun punya kemampuan berkomunikasi yang bagus, di samping mental yang kuat dan semangat juang yang tinggi. Mereka ini "pandai membawa diri", baik terhadap orang tua, teman se usia, dan juga pada yang lebih muda.

Kedua, bagi yang rankingnya tidak bagus, jangan merasa dunia sudah kiamat. Mengenali potensi diri, dan fokus di satu bidang yang nantinya selepas sekolah bisa dikembangkan, tetap memungkinkan untuk menuai sukses. Dari hobi yang positif, bisa berkembang jadi profesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun