Mohon tunggu...
Irwan Ade Putra
Irwan Ade Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang yang sedang belajar mengajar

Berbuatlah.... Biarkan waktu yang menjawab https://irwanadesaputra.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Skenario Dalam Skenario; Pilgub Sulsel

4 November 2017   20:13 Diperbarui: 6 November 2017   22:47 6379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memaknai Pilkada

Pemilihan kepala daerah serentak 2018 merupakan momentun politik lima tahunan yang dihelat dibeberapa daerah di Indonesia, baik pada level Propinsi, Kabupaten maupun Kota. Momen Pilkada tentu dimaknai berbeda oleh masyarakat berdasarkan segmentasinya, tergantung dari perspektif dalam memaknainya. 

Politisi secara personal memaknai bahwa momen Pilkada merupakan perhelatan untuk mengukur kapasitas ketokohonan serta tingkat keterpilahannya dimasyarakat, politisi murni biasanya mulai berkarir di Partai Politik lalu bertarung pada pemilihan legislatif dan puncaknya pada level daerah masing-masing. Ketika mampu berkontestasi pada ajang Pilkada, hal tersebut menjadi ukuran bahwa dirinya adalah politisi yang diperhitungkan, walaupun beberapa contoh kasus ada kandidat yang berasal dari profesi selain politisi tetapi tetap saja bahwa orang tersebut merupakan tokoh yang diperhitungkan.

Politik secara kelembagaan atau dikenal sebagai Partai Politik merupakan wadah berkelompok para politik yang terorganisir serta mempunyai kesamaan visi antara anggotanya. Secara teoritis tujuan dan fungsi sebagai komunikasi, sosialisasi, rekrutmen politik serta sarana manajemen konflik. Namun dalam prakteknya terkadang hanya sekedar dimaknai sebagai sarana dalam memenangkan pemilu, merebut kekuasaan serta menempatkan kader pada jabatan publik. 

Sehingga pada konteks Pilkada, memaknainya pilkada atau pemilu bahwa segala aktifitas kepartaian akan senantiasa berujung pada persiapan merebut kekuasaan. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan kelompok kepentingan atau kelompok kekuasaan, juga sering disebut klan politik bahwa kekuasaan adalah tujuan. Perbedaannya hanya pada anggota kelompok yang lebih heterogen, biasanya berasal dari berbagai profesi dan biasanya juga berasal dari berbeda partai politik.

Sedangkan kelompok akademisipun punya perspektif sendiri terkhusus bagi akademisi sosial politik,  yang melihat momentum pilkada sebagai perkara perlu diamati yang kemudian disinkronisasi dengan teori-teori yang ada, yang nantinya akan melahirkan tesis ataupun teori baru bagi kepentingan kajian ilmiah. Lain lagi jika bergeser pada kelompok birokrat atau abdi negara, kelompok ini merupakan kelompok yang paling merasakan dampak dari pesta demokrasi di Indonesia, sebab mereka yang nantinya akan mengimplementasikan visi, cita hingga janji-janji politik kontenstan yang menjadi pemenangan, tentu dengan melaksanakan kerja-kerja teknis di Masyarakat. Sehingga mereka melihat Pilkada sebagai proses peralihan pimpinan, dan kerap kali kelompok inilah yang menjadi korban pun sebagai yang diuntungkan secara personal ketika melibatkan diri dalam proses politiknya.

Kelompok berikutnya adalah pebisnis walaupun tidak semua segmen dalam dunia bisnis mempunyai makna khusus memandang proses pilkada. Segmen bisnis yang punya makna sendiri diantaranya segmen advertising dan percetakan sebagai peluang dalam meraut keuntungan, sedangkan segmen konsultan politik dan pencitraan pun demikian, dimana partai politik atau politisi merupakan komoditas yang bernilai ekonomis dan segmen media beranggapan bahwa momen pilkada merupakan sumber berita dan sumber pendapatan iklan.

Dan secara umum, masyakarat sebagai objek pilkada yang juga penentu arah dan komposisi peta politik, pemaknaan peristiwa politik akan berbanding lurus pada tingkat kesadaran politik dan tingkat kecerdasan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Dalam masyarakat dunia berkembang atau yang baru mengenal sistem demokrasi seperti Indonesia, bahwa menggunakan hak pilih masih sekedar memilih kandidat ataupun partai untuk kepentingan  kandidat partai itu sendiri. 

Karakter pemilih seperti ini belum memahami bahwa juga untuk kepentingan dan masa depannya, bahkan cenderung pragmatis dengan mengharapkan suatu nilai pada saat ini juga. Dan hal tersebut bagi sebagian politisi atau Parpol yang punya kekuatan finansial memanfaatkan kondisi tersebut dengan tetap menjaga agar pragmatisme pemilih tetap terjaga, kemudian dijadikan lumbung suara pada saat pilkada. Namun kondisi saat ini, sebagian masyakat Indonesia telah menjadi pemilih cerdas memaknai pilkada sebagai agenda politik untuk memperbaiki ataupun membuat situasi menjadi lebih baik.

cagub-sulsel-5a00840c8dc3fa3fda53c592.jpg
cagub-sulsel-5a00840c8dc3fa3fda53c592.jpg
Perwajahan Politik Sulsel

Perspektif dalam memandang Pilkada yang dipaparkan diatas, juga berlaku bagi perhelatan di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan karakter pemilih yang tersebar di 24 Kab/Kota dengan dipengaruhi oleh sosial budaya, suku, agama, serta letak geografisnya masing-masing membuat Pilkada 2018 akan sangat dinamis. Pilkada 2018 untuk ketiga kalinya dihelat oleh pronvinsi yang dikenal sebagai gerbang Indonesia Timur,  sehingga masyarakat Sulawesi Selatan cukup terbiasa dengan momentum suksesi politik ditambah lagi pilkada kabupaten kota, hingga rutinitas pemilihan pada level Pilkades dan RT/RW. Tak heran jika issu perpolitikan lokal menjadi konsumsi disemua tingkatan sosial masyarakat, yang berdampak pada terciptanya elit-elit lokal didaerah.

Ekses dari maraknya event-event demokrasi juga membuat polarisasi kepentingan politik di masyarakat Sulsel, yang membuat sekat antara pemilih dan pelaku/pemain/aktor politik menjadi tak jelas lagi. Masyarakat sebagai individu kemudian mengambil peran dalam kerja-kerja politik praktis dengan menjadi tim sukses pada event politik. Polarisasi tersebut membuahkan skema konfik sosial dan konflik kepentingan baik secara vertikal maupun horizontal, hingga mempengaruhi tatanan sosial dimasyarakat. Hal tersebut menurut beberapa ahli merupakan resiko dalam berdemokrasi yang harus ditanggung oleh masyarakat yang memilih jalan tersebut.

Pemilihan kepala daerah langsung di Sulsel sejak tahun 2009 hingga menjelang pilkada 2018 didominasi wajah lama tokoh politik begitupun pada partai politik, baik figur yang bermain dibelakang layar maupun yang tampil digarda depan. Dominasi Partai Golkar cukup jelas terlihat dalam perhelatan politik di Sulsel, sebab Sulsel memang merupakan merupakan lumbung suara bagi partai beringin tersebut. Bahkan dari pemilu ke pemilu Gorkar nyaris tak terkalah, tak heran jika sebaran kadernya cukup banyak menghiasi ruang-ruang publik. 

Sebut saja  Syahrul Yasin Limpo, Nurdin Halid, Agus Arifin Nu'mang, Ichsan Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, Andi Muzakkar dan nama-nama lain yang bukan berasal dari Partai Golkar seperti Azis Qahar Mudzakkar, Nurdin Abdullah, Rusdi Masse, Idris Manggabarani, Andi Ilhamsyah Mattalatta, dll. Beberapa diantaranya merupakan politisi yang telah menyelesaikan karir politik pada level Kab./Kota dan ada pula pemain lama yang baru tampil. Sedangkan beberapa nama yang kahir-akhor ini menghiasi kancah perpolitikan Sulsel pasca menyelesaikan karir di institusinya yakni Bro Rivai, Tanribali Lamo, dan Burhanuddin Andi.

Diantara deretan elit politik Sulsel,  Amran Sulaeman merupakan wajah baru yang hanya membutuhkan waktu singkat bisa memainkan ritmenya serta membentuk poros sendiri dalam percaturan politik Sulsel, bahkan melejit menjadi elit nasional dengan memegang posisi jabatan sebagai Menteri Pertanian pada kabinet Jokowi. 

Kiprahnya dalam dunia politik dimulai ketika Pilpres 2014, Amran menjadi salah satu komponen penting dalam pemenangan Jokowi-JK diwilayah Indonesia Timur itulah yang kemudian mengantar dirinya masuk dalam daftar kabinet Jokowi. Dalam Pilgub Sulsel 2018 Amran menjadi salah satu lokomotif yang berperan penting dalam menciptakan dinamisasi situasi politik, hingga terjadinya pergeseran arah dukungan partai politik diSulsel. Mendorong adik kandungnya berkompetisi pada salah satu momentum prestisius dalam peta politik nasional, yang notabene tak pernah bersentuhan dengan politik praktis dan bahkan boleh dikata zero pengalaman politik. Sudirman Sulaeman yang dipaketkan Nurdin Abdullah dengan salah satu Bupati yang punya prestasi cemerlang di Sulsel bahkan Indonesia. Tindakan politik Arman tersebut bisa jadi merupakan bentuk confidence dan optimismenya dalam melakukan gerakan pemenangan politik.

Fase Awal Pertarungan

Konteks kekinian peta politik Sulsel  masih berada pada pertarungan fase awal, namun penulis beranggapan bahwa Fase awal inilah yang merupakan pertarungan yang sesungguhnya, sebab pada fase ini bakal calon dituntut untuk mengaktualisasikan segala kemampuannya baik talenta, skill dalam melobi, skill manajemen waktu, kemampuan meyakinkan, kemampuan melihat peluang, kemamouan membaca situasi, jejaring yang luas, kepiawaian dan strategi politik bahkan hingga kekuatan finansial para kandidat. 

Fase awal atau masa prakondisi menghadapi tahapan resmi KPU, paling tidak juga ada beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh bakal calon tentunya predikat lulus yang oleh penulis kemudian dianalogikan sebagai Ujian. Ujian yang dimaksud yakni ujian pertama adalah memilih dan menentuan pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Ujian kedua perebutan rekomendasi dukungan partai politik, dan ujian ketiga  adalah pendaftaran sebagai pasanga bakal calon pada Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan.  

Ujian pertama yaitu penentuan pasangan bakal calon, siapa paket dengan siapa? lalu siapa yang mendapat posisi 01 dan siapa pula diposisi 02?. Variabel kemistri atau kecocokan satu sama lain, variabel hasil survey, dan variabel ego dan saling mengerti yang menjadi faktor penentu untuk menyelesaikan ujian pertama tersebut. Ibarat audisi beberapa nama pastinya akan terhempas dari pusaran konstalasi politi, berikut nama yang telas berhasil lulus yakni pasangan Nurdin Halid dan Azis Qahar Mudzakkar, pasangan Agus Arifin Nu'mang dan Aliyah Mustika Ilham, pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Andi Mudzakkar, dan pasangan Nurdin Abdullah-Tanribali Lamo walaupun dalam berjalanannya Tanribali Lamo juga harus keluar arena digantikan oleh Sudirman Sulaeman diakibatkan oleh kegagalan Nurdin Abdullah-Tanribali Lamo melewati ujian kedua, dan Sudirman Sulaeman hadir untuk meyakinkan Nurdin Abdullah bahwa dia adalah pilihan tepat untuk menuntaskan ujian kedua terkait rekomendasi dukungan partai politik sebagai tiket untuk memasuki arena Pilgub Sulsel 2018, dan jadilah paket pasangan Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaeman. Dan akhirnya terdapat empat pasangan yaitu NH-AQM, AAN-AMI, IYL-AM, NA-SS yang lulus dan menyisihkan beberapa tokoh ataupun politisi yang belum bisa mementukan siapa paketnya pada ujian pertama difase awal Pilkada Sulsel 2018.

Berikutnya ujian kedua, ke empat pasangan bakal calon ditantang untuk mendapatkan  rekomendasi dukungan partai politik sekurang-kurangnya 17 kursi dari jumlah komposisi kursi DPRD Provinsi Sulawesi Selatan yakni 85 kursi. Pada ujian ini, populerlah istilah "pembegalan partai" yang dilakukan para kandidat pasangan. Realita yang terjadi dalam konteks pembegalan yaitu PAN yang dibegal dari IYL-AM yang dilakukan oleh NA-SS, Partai Demokrat yang dibegal oleh IYL-AM dari pasangan AAN-AMI yang juga merupakan kader Partai Demokrat, adapula Partai Gerindra terbegal dari genggaman AAN-AMI yang juga dilakukan oleh NA-SS. Pada kasus beralihnya dukungan Partai Nasdem Sulsel yang dinahkodai Rusdi Masse dari IYL ke pasangan NH-AQM usungan Partai Golkar, RMS dan Nasdemnya sebelum penentuan paket kerap melontarkan dukungannya kepada mantan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Arah dukungan Partai Politik di Sulsel memang cukup dinamis, sebab dalam beberapa kasus terjadi polemik dan perdebatan seperti rekomendasi dukungan yang tidak mengindahkan mekanisme administrasi dan prosesi  yang membuat kegaduhan politik baik di internal maupun eksternal partai. 

 Ada pula perbedaan dukungan pada tingkatan Partai seperti Partai Amanat Nasional pada tingakatan Provinsi telah menyatakan kepada IYL  sedangkan rekomendasi DDP PAN yang di terbit menyatakan dukungan kepada NA-SS. Berikut Informasi terkini saat tulisan ini dibuat tentang perolehan dukungan partai politik terhadap pasangan bakal calon (3/11/2017). Pasangan Nurdin Halid dan Azis Qahar Mudzakkar didukung oleh Partai Golkar dengan 18 kursi, Partai Nasdem dengan 7 kursi dan PKP dengan 1 kursi sehingga total dukungan yang dikantongi oleh Ketua Harian Partai Golkar sebanyak 26 kursi. 

Sedangkan Pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Andi Mudzakkar didukung oleh Partai Demokrat sebanyak 11 kursi dan PPP sebanyak 7 kursi sehingga total dukungan yang diperoleh pasangan IYL-Cakka yang sempat di issukan tidak dapat maju pada Pilgub 20018 sebanyak 18 kursi.  Selanjutnya pasangan Agus Arifin Nu'mangdan Aliyah Mustika Ilham didukung oleh PKB sebanyak 3 kursi dan PBB 1 kursi dengan total sebanyak  4 kurs. Dan selanjutnya perolehan partai pasangan Nurdin Abdullah dan Sudirman Sulaeman sebanyak 31 kursi, yaitu PAN dengan 9 kursi, PKS dengan 6 kursi. PDIP sebanyak 5 kursi, dan Gerinda sebanyak 11 kursi. Dan adapun Partai Politik yang belum mementukan pilihanya   pada Pilgub mendatang adalah Partai Hanura dengan 6 kursi.

Dengan melihat komposisi perolehan dukungan partai politik kepada pasangan calon terkini, dapat dipastikan jika Pilgub dihelat saat ini maka yang memenuhi syarat dukungan hanya terdapat tiga pasangan yaitu pasangan Nurdin Abdullah dan Sudirman Sulaeman sebanyak 31 kursi, Pasangan Nurdin Halid dan Azis Qahar Mudzakkar sebanyak 26 kursi dan Pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Andi Mudzakkar sebanyak 18 kursi. Sedangkan pasangan Agus Arifin Nu'mang dan Aliyah Mustika Ilham tidak memenuhi syarat minimal rekomendasi dukungan partai politik minimal 17 kursi, sebab hanya mengantongi dukungan sebanyak 4 kursi walaupun Partai Hanura yang belum menentukan sikap juga bergabung turut bergabung pada koalisi Agus-Aliyah juga belum bisa menggenapkan syarat dukungan.

Tapi hal tersebut bukan berarti memupuskan harapan Agus-Aliyaha ataupun figur-figur lainnya untuk ikut berkompetisi pada pilkad gubernur Sulsel mendatang, masih ada waktu yang tersisa sekitar dua bulan kedepan untuk terus bergerilya meyakinkan partai politik untuk menerbitkan rekomendasi dukungan partai hingga memasuki tahapan pendaftaran yang direncanakan pada tanggal 8 hingga 10 Januari 2018. Namun strategi yang harus dilakukan adalah "pembegalan" partai politik daripasangan calon lain, mengingat saat tinggal Partai Hanura satu-satunya partai yang tak bertuan. Hal tersebut juga berlaku pada ketiga pasangan bakal calon yang sementara ini telah memenuhi syarat minimal dukungan, masih harus tetap bekerja dan menjaga kemungkinan menjadi korban "begal" partai. Bahkan jiak memungkin menambah lagi dukungan sebagai bentuk antisipasi jika terjadi masalah terkait rekomendasi dukungan.

Dan ujian ketiga yang merupakan ujian terakhir pada fase awal ini adalah memastikan kesiapan pasangan bakal calon yang mengantongi syarat minimal dukungan dalam hal pemenuhan syarat lainnya yang telah ditetapkan oleh pihak KPU. Tahapan ini menjadi penting sebab ini adalah pintu masuk menuju arena kompetisi  Pilgub 2018, dan pada tahapan ini KPU akan mengumumkan secara resmi pasangan calon kepala daerah yang berhak dipilih pada tanggal 27 Juli 2018 mendatang.

Pertarungan Skenario

Pada fase ini pula, pertarungan strategi dan taktik dirancang bangun dalam bentuk suatu skema ataupun skenario untuk memuluskan jalan masing-masing menuju Pilgub 2018. Dalam pengimplementasian suatu skenario diperlukan suatu data yang konferenship tentang segala potensi yang dimiliki oleh seluruh lawan, sebab pada situasi ini memang seluruh figur atau orang yang punya niatan untuk berkontestasi atau mencoba peruntungan wajib dijadikan rivalitas bahkan dengan figur yang diprediksi akan berpasangan sekalipun, sebab akan tiba pada tawar menawar yang berujung pada bargaining potition. Jika nilai tawar lemah maka posisi yang didapat juga pasti lemah. Beberapa skenario yang mencuat pada perhelatan di Sulsel dan kerap menjadi perbincangan hangat dimasyarakat diantaranya, skenario melawan kotak kosong, dimana pasangan akan memborong rekomendasi dukungan sehingga tidak lagi lawan saat pelaksaan Pilgub. Inilah salah satu contoh kenapa penulis menggangap bahwa fase awal ini merupakan pertarungan politik yang sesungguhnya.

Skenario menggagalkan Ichsan Yasin Limpo merupakan skenario yang cukup hits, terbukti dengan populernya istilah "pembenggalan partai", beberapa bakal calon beranggapan bahwa absennya IYL pada Pilgub nanti akan memudahkan kerja-kerja politik beberepa kandidat sebab kelompok klan Yasin Limpo memang dikenal sebagai petarung politik dan punya 1001 strategi yang jitu dan teruji memenangkan bebebrapa momentum politik di Sulawesi Selatan. 

Bahkan pada konstalasi terakhir dimana IYL sempat dijadikan "musuh bersama" yang konon merupakan turunan dari ekses kepentingan politik nasional, Punggawa yang berkolaborasi dengan talenta yang dimiliki oleh Bupati Luwu dua periode Andi Cakka mampu lolos dari jeratan skenario lawan. Klimaksnya ketika gerakan-gerakan politik yang diterapkan oleh pasangan IYL-Cakka ini mampu menarik variabel kepentingan elit nasional turun pada ranah pilkada Gubernur Sulsel. 

Terbukti dengan keputusan Partai Demokrat yang memerikan dukungan pada paket tersebut, variabel Partai Demokrat dan SBY dalam konstalasi nasional memang selalu menggunakan politik deferensiasi. Demokrat senantiasa akan mengambil jalan berbeda dengan kelompok ataupun partai pada level nasional, disaat beberapa kadernya bersosialisasi untuk bergerak masuk pada pusaran pilgub Sulsel, Partai Demokrat lebih memilih pasangan yang mempunyai potensi bisa melawan dominasi kelompok Istana Merdeka. 

Keberhasilan IYL mengendarai Partai Demokrat bukan hal yang tanpa sebab, karena ketika kita membuka jejak karir politik IYL akan terungkap bahwa mantan Bupati Gowa ini pernah berebut kursi nomor satu di Partai Demokrat, selain itu anaknya Andan Purichta yang kini menjabat Bupati Gowa juga pernah menjadi Anggota DPRD Sulsel dengan meraih suara terbanyak saat masih menjadi Partai Demokrat pada Pileg 2009.

Jika konstalasi Fase awal ini bertahan dengan tiga pasangan calon NA-SS, NH-AQM dan IYL-AM hingga resmi ditetapkan sebagai kontestan Pilgub Sulsel oleh KPU, maka peta politik kepentingan elit nasionalpun akan terbaca. Kelompok istana merdeka akan menjagokan dan memainkan perannya melalui pasangan Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaeman yang mentori oleh Menteri Pertanian Amran Sulaeman dan Nurdin Halid-Azis Qahar Mudzakkar dengan kelompok Partai Golongan Karya yang telah memastikan Jokowi sebagai Capres 2019. 

Sedangkan Kelompok Cikeas berhasil mendapatkan jagoannya dengan mengusung pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Andi Mudzakkar. Peta politik Sulsel ini sekaligus mengandaskan skenario istana merdeka yang menginginkan hanya kedua jawara yang ikut bertanding. Lalu dimana posisi kelompok Prabowo dan Jusuf Kalla pada konstalasi politik Sulsel?

Terakuisisinya salah satu gerbong opisisi kelompok istana merdeka pada Pilgub Sulsel, dengan terbitnya rekomendasi dukungan Partai Gerindra kepada pasangan NA-SS meringankan beban kerja politik pada Pilpres 2019 dan kepentingan politik Prabowo akan mengikut ritme yang dimainkan pasangan NA-SS. Hal tersebut juga membuktikan kehebatan lobi seorang  Amran Sulaeman, memberikan posisi tawar Amran pada percaturan elit Nasional semakin tinggi. 

Bahkan skenario yang dimainkan Sang Menteri ini juga membuat kepentingan kelompok JK melalui paket  Nurdin Abdullah dan Tanribali Lamo menjadi sirna, sebab konon kabarnya Wakil Presiden RI asal Sulsel ini punya andil besar dalam menyatukan Bupati Bantaeng dan mantan pelaksana tugas Gubernur Sulsel saat Pilgub 2008 lalu. Namun penulis meyakini  bahwa sosok seorang Jusuf Kalla tidak akan menjadi penonton pada perhelatan politik dikampungnya, hal tersebut sedikit terbukti dengan intensitas komunikasi politik yang dibangun dengan pasangan Nurdin Halid dan Azis Qahar Mudzakkar. Apakah bangunan komunikasi politik tersebut akan meredupkan lampu hijau dari kelompok istana merdeka pada pasangan NH-AQM? tapi dalam politik semua bisa terjadi, politik itu dinamis dan kadang tak terprediksi. Karena ada selalu ada skenario dalam skenario

Ekses dari politik Sulsel ini, paling tidak mengukuhkan beberapa poros yang bermain pada kancah politik nasional seperti Jusuf Kalla, Nurdin Halid, Oesman Sapta Oddang dan kini Arman Sulaeman cukup memberi warna, mari menantikan jurus-jurus pamungkas para politisi handal orang Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun