Beberapa hari ini media di Kota Makassar cukup ramai pemberitaan terkait kehadiran Direktur Eksekutif The Yudhoyono di Kota Makassar. Agus Harimurti yang juga calon Gubernur DKI Jakarta lalu, diagendakan menghadiri beberapa kegiatan terkait Sumpah Pemuda. Kunjungan Agus merupakan rangkaian roadshow keliling Indonesia sebagai prakondisi menghadapi momentum politik mendatang, sekaligus mengukur respon masyarakat terhadap pencitraan politik setelah meninggalkan karir militernya.
Pemanasan Panca Jakarta
Didampingi istrinya Annisa Pohan, AHY akronim populer Sang Mayor bak seorang artis tenar yang menghampiri fansnya. Wall media sosial ramai menguoplad foto atapun berita onlinenya. Lalu yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan sosoknya sehingga menjadi magnet bagi beberapa warga Kota Makassar? Â paling tidak simpulan awal saya bahwa berkompetisi pada Pilkada adalah jaminan akan ketokohan dan popularitas bukan hanya pada skop DKI Jakarta tapi hingga Indonesia. Sebagai seorang kandidat yang tidak memenangkan Pilkada ini merupakan hal yang luar biasa, Â dan ternyata tidak hanya berlaku pada AHY pun sama halnya dengan Ahok apalagi Anies-Sandi yang sekrang menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Didirikannya The Yudhoyono Institute sebagai sebagai lembaga kajian yang tidak bersentuhan dengan kepentingan politik praktis, dimana fokus kajiannya pada issu strategis nasional dan internasional. Lembaga ini bertujuan untuk menciptakan kader-kader pemimpin bangsa nantinya. Paling tidak itulah gambaran institusi tersebut secara normatif kelembagaan. Namun dibalik pendirian institusi tersebut, secara hal tersirat yakni bangunan pencitraan AHY sebagai sosok negawaran yang tidak kental akan kepentingan politik praktis, juga menggambarkan sosok terpelajar, cerdas dan berprestasi. Penamaan The Yudhoyono yang merupakan nama Presiden RI dari 2004 hingga 2014, sebenarnya bukan untuk Yudhoyono namun dipersembahkan untuk The AHY.
Pilihan konsep pencitraan AHY sebenarnya adalah suatu pilihan yang unik menurut saya, sebab kebanyakan orang dalam memprediksi langkah mempersiapkan karir Agus kedepan. Pasca bertarung di Pilkada Jakarta menang ataupun kalah orang akan berfikir tongkat estafet kepemimpinan di Partai Demokrat akan jatuh ketangan mantan Danyonif  Arya Kemuning. Sebab kecakapannya selama berkarir di militer serta proses singkat yang dilakoni selama proses pilkada Jakarta, berhasil mencitrakan dirinya layak menjadi seorang peminpin. Tapi langkah lain ditempuh Cikeas dengan tujuan yang sama, bahwa modal politik dalam konteks kelembagaan yakni Partai Politik sebagai tolls mengiringi perjalanan karir politik Agus sudah pasti dengan posisi Partai Demokrat hari ini, SBY tinggal menjaga tingkat electoral partai.  Â
Dengan tantangan masa depan yang semakin berat, dibarengi tingkat kecerdasan masyarakat dalam memilih pemimpin yang punya kualitas serta peduli terhadap kepentingan masyakat, bukan kepentingan kelompok/partai serta menurunnya tingkat kepercayaan masyakat terhadap institusi partai mengharuskan partai menyuguhkan pimpinan yang ideal.Â
Dan jika AHY kedepan tampil sebagai sosok negarawan yang disupport oleh kekuatan partai politik maka pilihan rakyat akan jatuh padanya, mencari sosok pemimpin yang ideal bukan perkara yang sulit sebab potensi sumber daya manusia Indonesia cukuplah untuk sekedar menjadi sosok yang diharapakan rakyat. Tetapi apakah disupport oleh kekuatan politik sebagai instrument utama yang harus dimiliki dalam merebut kursi kepemimpinan. Dari analisiis sederhana tersebut, bisa dipastikan Agus Yudhoyono tidak akan mencelupkan dirinya pada partai politik. Jalan tersebutlah yang dipilih untuk pemanasan pasca Pilkada Jakarta sembari menunggu momentum politik berikutnya.
AHY Effect
Pertanyaan berikutnya, kehadiran Agus yang disambut oleh Pejabat dan Tokoh Politik di Makassar, bukankah AHY brand milik Partai Demokrat?