Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Masanya Lagi Ngaji Pakai Rotan

18 Maret 2023   06:58 Diperbarui: 18 Maret 2023   07:08 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

DI masa lalu belajar mengaji Quran selalu dikaitkan dengan rotan. Maklum saja, guru yang mengajar mengaji selalu memegang rotan di depan anak-anak.

Di negeri seberang, Malaysia justru lebih seru lagi. Saat membawa anak untuk mengajar ngaji kepada seorang guru, si orangtua juga sekalian membawa rotan. Ini sebagai isyarat bahwa guru diperkenankan merotan anaknya agar bisa mengaji.

Rotan yang dipakai untuk mengajar biasanya seukuran jari kelingking. Tapi kalau mendarat di tangan atau badan terasa sakit juga. Biarpun memukulnya tidak sekuat tenaga.

Sebenarnya guru ngaji tidak setiap saat menggunakan rotan untuk menghukum. Biasanya hanya dipakai kalau anak murid bermain dengan kawannya saat pengajian. Bukan untuk memaksa si anak agar bisa mengaji.

Banyak orang tua saat ini yang merasa bersyukur ikut mengalami pendidikan pakai rotan seperti itu. "Kalau tidak keras dengan memakai rotan, mungkin sampai sekarang kami belum bisa baca Quran," kata seorang ayah.

Kini zaman sudah berbeda. Menggunakan rotan saat mengajar bisa-bisa jadi tindak pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Sudah sering terdengar guru yang berurusan dengan polisi hanya karena menjewer telinga muridnya saja. Bagaimana pula kalau guru merotan muridnya?

Mengajar anak memang tak selalu harus dengan kekerasan. Hal itu justru akan membuat anak semakin tidak berminat belajar. Pengalaman saya mendorong anak-anak untuk mengaji adalah dengan cara membujuk. Di suatu desa terpencil,  anak-anak yang ikut belajar Iqra diberi jajanan setiap usai mengaji. Begitu dilakukan setiap malam. Dengan cara ini mereka jadi raiin datang mengaji.

Sedangkan di kawasan perkotaan cara ini belum saya lakukan. Masih dengan membujuk lewat ajakan-ajakan yang memotivasi. Lebih sulit, memang. Apalagi anak-anak cepat bosan dan kurang konsentrasi. Saat membaca kata-kata yang mirip nama  orang, dia langsung menimpali dengan mengatakan: "tetangga saya." atau "Mamanya si Anu."

Kalau menemukan seperti ini, balas saja dengan bercanda. Tujuannya agar mereka jangan cepat bosan. Jika ada anak yang ikut bermain dengan kawan-kawan yang sudah selesai mengaji lebih dulu, ya biarkan saja. Kalau langsung memarahi, besok-besok mereka tak mau ikut mengaji lagi.

Daripada memarahi, apalagi sampai merotan, lebih baik mengikuti kemauan mereka saja. Tapi kita harus tetap mengajak mereka meneruskan kajian dengan berbagai cara. Mengaji dengan kesadaran sendiri membuat anak jadi serius.

Beberapa anak yang saya tuntun kini sudah selesai belajar Iqra. Yang membuat hati senang, mereka pun minta dilanjutkan belajar baca Quran. Padahal saya sendiri belum begitu fasih. Tapi, tak apalah. Sekalian sama-sama belajar Quran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun