Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek dan Kerukunan di Sumatera Utara

16 Januari 2023   22:18 Diperbarui: 16 Januari 2023   22:26 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jelang Imlek di Medan. (Foto: tribun medan)

DI Medan dan sekitarnya ada gurauan yang sering terdengar, khususnya jelang imlek. "Hayya...lu lagi...lu lagi...mau hari raya lu latang minta luik...mau tahun baru lu latang lagi minta luik..mau imlek pun lu latang minta luik...memang agama lu apa?" Gurauan tersebut mengarah ke preman yang suka memalak baba pemilik toko.

Imlek memang sebuah hari besar yang tak kalah meriahnya dengan Hari Raya dan Natal/Tahun Baru di Medan dan kawasan sekitarnya. Warga keturunan Tionghoa bergembira ria menyambut kedatangan tahun baru mereka. Terasa meriah, karena jumlah mereka cukup banyak. Disebut warga etnis Tionghoa menduduki peringkat ke-4 setelah Batak, Jawa, dan Melayu di Medan.

Kendati begitu, peran mereka dalam mewarnai kehidupan masyarakat di provinsi ini sangat besar. Ini bisa dilihat saat imlek, di mana kehidupan perekonomian seperti terhenti total. Pertokoan yang umumnya dimiliki etnis Tionghoa pada bertutupan. Hal ini menyebabkan aktivitas warga pun jadi ikut mandek. Seperti perbengkelan yang dimiliki warga pribumi, misalnya, tak bisa aktif bekerja karena toko suku cadang tutup. Begitu pula di sektor lainnya. "Kalau mau aman kita harus menyetok onderdil dulu," kata Tajudin, seorang montir panggilan di kawasan Amplas, Medan.

Di sektor makanan dan hiburan, imlek memang tak sampai mengganggu. Bahkan bisa bertambah ramai karena banyak warga Tionghoa yang datang berkunjung. Kendati begitu, mereka pun harus tetap menyetok bahan baku karena toko Tionghoa akan tutup selama beberapa hari.

Peran etnis Tionghoa dalam kehidupan warga di Sumatera Utara memang cukup besar. Ini sudah berlangsung sejak masa penjajahan dulu. Dan boleh dikatakan hal tersebut tak sampai menimbulkan kecemburuan sosial yang berarti. Prinsip saling membutuhkan seperti terpancar di sini.

Terbukti, saat terjadi kerusuhan di Jakarta dan kota-kota di Jawa pada 1998 lalu ternyata imbasnya tak terasa di Sumatera Utara. Aktivitas perekonomian tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada toko yang dijarah massa. Apalagi sampai ada yang dianiaya bahkan diperkosa.

Sejak dulu, jika ada perkelahian antara seorang Cina dengan warga pribumi, biasanya cukup diselesaikan di antara mereka saja. Tak sampai menyeret-nyeret warga lain sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian massa. Seandainya pun ada warga pribumi yang sampai tewas akibat berkelahi dengan seorang warga Cina, maka warga Cina lainnya tidak menjadi takut keluar rumah. Mereka yakin tak akan ada pribumi yang melampiaskan dendam kepada mereka yang tidak tahu apa-apa.

Itulah Sumatera Utara, yang sejak dulu telah menjadi daerah multirasial. Warga pribumi terdiri dari berbagai sukubangsa pendatang dan warga setempat. Kemudian ada warga keturunan Tionghoa, India, Tamil, dan juga sedikit Arab. Dan semuanya bisa melakukan aktivitas secara aman dan damai.

Kita berharap dengan masuknya tahun baru Imlek ini akan semakin mengakrabkan seluruh warga di Sumatera Utara. Dengan prinsip saling membutuhkan, semoga dapat menciptakan kerukunan yang lebih baik. Semoga. (Irwan E. Siregar)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun