Mohon tunggu...
Vinofiyo
Vinofiyo Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh negara

Pria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menikmati "Caviar" dari Desa Siabu

17 November 2020   12:46 Diperbarui: 17 November 2020   13:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan foto : Caviar (telur ikan) sturgeon. Sumber : nytimes.

Apakah anda pernah dengar caviar (baca kaviar) atau mungkin beruntung pernah mencicipinya ? Kalau saya termasuk golongan yang alhamdulillah, pernah membacanya di google. Kalau saya lihat di salah satu situs jual beli online harga termurah untuk 100 gram mencapai lima juta rupiah. Untung tidak jadi beli karena kalau dipaksakan juga bisa-bisa isteri saya cemberut karena selama setengah bulan dapur kami tidak akan berasap.

Caviar sepengetahuan saya dari browsing adalah makanan berupa telur ikan sturgeon yang setelah diproses kemudian disajikan sebagai makanan mewah sekaligus merupakan simbol kekayaan. Sebagai makanan paling mahal di dunia maka jangan harap kalau kasta paria seperti saya bakal bisa membelinya. 

Jadi saya harus betul-betul kaya alias kayanya tidak nanggung kalau mau menikmatinya. Mau tak mau jalan satu-satunya hanya berharap suatu waktu diundang pesta kalangan atas meski harus diakui teman-teman saya tak ada dari kalangan elite, hanya menengah ke bawah.

Lalu kenapa caviar harganya sangat-sangat mahal ? Apa karena rasanya betul-betul enak ? Saya pernah makan tobiko dan ikura di restoran sushi dan rasanya biasa saja. Usut punya usut informasinya antara caviar, tobiko dan ikura tidak jauh-jauh amat rasanya. Jadi kenapa mahal ? Kesimpulannya hanya satu yaitu karena ikan sturgeon sudah langka, coba saja kalau caviar berasal dari telur ikan tongkol, tentu stok akan berlimpah di pasar dan harganya pasti murah. 

Nah, daripada mengharapkan caviar yang mahal dan jauh di Rusia, Azebaijan, Kazakhstan dan Iran, mendingan kita coba caviar dari dalam negeri yang rasanya benar-benar lezat dan harganya ramah di kantong. Nih fotonya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
 Warung makan sederhana yang saya kunjungi ini terletak di desa Siabu, berada di kecamatan yang bernama Siabu juga, di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Saya katakan sederhana karena memang warungnya kecil dengan suasana kampung disebabkan berada di kampung meski masih di jalan Lintas Sumatera. Kalau pengunjung ingin ke kamar kecil maka dipersilahkan menyeberangi jalan menuju mesjid di depan warung karena memang tak ada kamar kecilnya. Namun kalau ditanya soal menunya, jelas tidak sederhana dan tidak ada duanya. 

Namanya warung nasi Porang. Kata si bapak pemilik warung, Porang itu nama panggilannya sejak kecil. Menu utamanya adalah telur ikan dan ikan mas yang dimasak asam pedas. Namun rasa pedasnya benar-benar nendang dan terasa segar karena tidak banyak bumbu. 

Kadang-kadang ada juga rotan muda atau ikan mas asap yang semuanya dimasak asam pedas. Masakan khas lain juga ada namun tidak tetap, tapi untuk telur ikan dan ikan mas selalu tersedia. Sedangkan sayurnya adalah sayur bening berupa campuran pucuk labu dan daun singkong. 

Makan siang disini djamin akan membuat anda ketagihan meski meja makannya berada di emperan warung. Lidah akan terasa digigit oleh sensasi rada pedas yang berbeda dari pedasnya rumah makan Padang. Saya rasa mungkin ditambahkan andaliman atau yang dikenal disana sebagai merica batak. Pedasnya menggairahkan hingga membuat tangan tidak akan berhenti menyuap sampai perut terasa benar-benar kenyang dan tak sanggup lagi diberi muatan lebih.

Warung nasi Porang ini sebetulnya punya beberapa cabang yang semuanya berada di Kabupaten Mandailing Natal yang dikelola oleh anak-anak pemilik warung di Siabu. Namun warung  yang di Siabu inilah yang paling cocok dengan selera saya. Mungkin karena beda pengelola atau juru masaknya berbeda maka rasanya tidak sama. Tapi tidak tahu bagaimana menurut yang lain karena semua terpulang kepada selera masing-masing.

Ya, sekali lagi tergantung kepada selera masing-masing. Meski sudah pernah mencoba tobiko dan ikura yang rasanya tidak beda jauh dengan caviar, bagi saya rasanya biasa saja. Tidak ada apa-apanya dengan telur ikan yang saya makan di desa Siabu. Harga mahal belum tentu akan menghasilkan rasa yang lebih kaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun